Sabtu, 25 Februari 2017

Kegagalan Aktivis Cinta Diam-Diam

Saya percaya bahwa manusia ditakdirkan untuk jatuh cinta, dalam ranah romantis, beberapa kali selama hidupnya. Meskipun sebutan the love of my life hanya akan berlaku untuk satu orang, namun episode jatuh cinta yang hebat bisa terjadi bukan hanya pada satu orang saja. Jatuh cinta yang hebat di sini biasanya melibatkan rasa berdebar di dada yang sangat sukar diredam, telapak tangan dan kaki yang selalu saja terasa dingin setiap kali harus berhadapan dengan the object of affection, dan kondisi sulit tidur akut yang mengakibatkan tubuh letih lesu meskipun hati sedang hingar-bingar. Ketika episode jatuh cinta yang seperti ini sedang diputarkan Tuhan untuk kita, semua lagu yang bersajak indah merayu tiba-tiba menjadi sangat relatable, dan kita tidak perlu menghadap langit sambil menunggu gerimis dulu untuk melihat pelangi.

Beberapa kasus jatuh cinta tidak selalu berakhir dengan bersatunya fulandari dan fulandanu. Bisa jadi karena fulandari yang merasa gengsi untuk mengutarakannya karena merasa fulandanu lah yang seharusnya memulai, atau karena fulandanu yang lelah menunggu fulandari menyambut perasaannya. Meskipun pada akhirnya tidak terjadi apapun di antara mereka berdua, kemudian musim berganti sampai mereka berdua akhirnya menjadi asing terhadap satu sama lain, bekas debaran jantung yang dahsyat sampai membuat lutut lemas itu akan tetap tinggal di tempat yang sama selamanya. Seringnya sengaja dilupa, namun sesekali dia akan berhasil berjingkat-jingkat menyusup ke dalam hati dan memicu kalimat ini, "Ah, iya. Dia."

Kalau dihitung-hitung, ada lima episode jatuh cinta terdahsyat yang pernah saya alami. Dua di antaranya tidak masuk kategori unrequited love dan terjadi atas dasar prinsip, "It is nice to be wanted." Namanya juga hati, kalau ada yang menawarkan tempat bersandar dan ternyata nyaman, ya, akhirnya menyerah. Sedangkan dua cerita lain yang tidak pernah diungkap kepada the object of affection terjadi karena adanya kekuatan sparks and chemistry yang saya rasakan pada mereka, yang lantas diperparah dengan kekaguman yang pelan-pelan menggunung.

Seharusnya ada tiga episode yang bisa masuk ke dalam kategori unrequited love, sampai beberapa minggu yang lalu Tuhan akhirnya memutuskan untuk mengacaukan pola cerita cinta di kehidupan saya. Dari sini lah kegelisahan ini muncul. Saya yang tadinya adalah self-proclaimed pro at handling hidden feelings mendadak kehilangan arah, tidak tahu harus bagaimana mengelola letupan-letupan familiar yang anehnya sekarang terasa baru. Dalam dua episode cinta diam-diam dulu, saya berhasil keluar dari 'medan perang' dengan hati yang utuh. Bahkan sampai sekarang saya mensyukuri kepengecutan saya waktu itu, dan dengan ikhlas mengakuinya sebagai tabiat pemuja rahasia.

Siapa yang menduga dua kali pernah sukses mengendalikan cinta diam-diam ternyata menjadi tidak berguna ketika akhirnya gayung saya justru bersambut? Apakah saya kesal karena gayungnya bersambut? Tidak juga. Apakah saya lebih memilih gayung ini selamanya mengapung-apung bebas di perairan unrequited love, yang anehnya sedikit saya banggakan? Tidak juga. Apakah saya tidak bersyukur karena lelaki yang bertahun-tahun hanya saya amati punggungnya dari jauh, sekarang mungkin sedang tersenyum ge-er membaca ceracau saya kali ini? Tentu saja saya bersyukur. Masalahnya bukan lah pertanyaan-pertanyaan yang saya sebutkan di atas. Keahlian saya bertahan mencintai dalam diam kini jadi seperti payung yang diterpa hujan deras, lalu patah rangkanya dan terbang terbawa angin. Saya menjadi pemuja rahasia yang gagal di depan lelaki ini. Kemampuan saya dalam mengendalikan letupan-letupan romantis lenyap seketika gara-gara dia. Saya meracau tak terkendali dimana-mana dan kepada siapa saja tentang dia. Padahal ketika kami bicara berdua, yang kami obrolkan justru keseharian kami, sembari saya menahan-nahan jantung yang rasanya mau melompat keluar lewat tenggorokan.

Sekian waktu hanya menyapanya dalam angan membuat saya masih meraba-raba bagaimana sebaiknya berkasih dengan lelaki ini; yang datangnya saja mendadak, seperti melompat keluar dari mesin waktu yang bertanggal enam tahun yang lalu; yang raganya jauh namun hawanya sedekat nadi.

Sabtu, 18 Februari 2017

Kau Adalah Bagaimana Tuhan Mencintaiku

Lagunya baru saja usai. Namun air mataku sudah kering, dan mataku sudah kebas. Dada masih nyeri, meski sekuat apapun aku mempertemukan kedua pasang kelopak mataku, tidak ada lagi air yang keluar. Tenggorokan juga masih terasa dihunus sembilu, meski sedalam apapun aku merogoh, tidak ada lagi yang bisa kutemukan.

Untuk pertama kalinya setelah sekian ribu jam, aku, kosong.

Lantas ku memutar lagu yang sama untuk kesekian ratus kalinya. Entah untuk alasan apa, aku ingin bisa menangis. Kau tahu betapa menyebalkan merasakan sakit namun sudah kehabisan daya untuk menangis? Setidaknya menangis mengalihkan nyeri dan perih yang menjalar; mekanisme pertahanan manusiawi yang paling dasar. Setidaknya dengan menangis, berarti kau tidak kosong. Kau masih merasa.

Lalu-lalang manusia berpakaian kelabu masih asyik, menawarkan elegi yang kutahu sengaja meledekku. Beberapa memakai topi, beberapa bermantel tebal, dan beberapa bersarung tangan kulit sapi. Duniaku dan dunia mereka hanya terhalang dua lapis kaca lebar ini. Seorang wanita menjatuhkan sarung tangannya tepat di depanku, warnanya kelabu. Kau harus tahu bagaimana aku mendeskripsikan kelabu. Kelabu bukan hitam. Kelabu bukan abu-abu. Kelabu bukan sekadar gelap, karena gelap berarti ketiadaan terang. Kelabu adalah kegagalanku menemukan rupa. Sarung tangan wanita tadi, kelabu yang tiba-tiba menonjok tenggorokanku. Sakit. Namun tetap gagal membuatku menangis.

Kemudian kulihat sekelebat punggung yang nampak familiar. Punggung itu membelakangiku di seberang jalan. Tulang bahunya terangkat ketika dia memasukkan tangan ke dalam saku celananya. Rahangnya sekilas menyapa ketika berpaling. Dia masih berdiri di sana. Aku berusaha membuat sketsa wajah di dalam kepalaku dari punggung yang familiar itu. Lalu muncul sensasi yang sangat kukenal; seperti isi dadamu turun ke perut lantas mulas. Ketika punggung itu berbalik dan sketsa di kepalaku bercermin di wajahnya, rasa mulas itu menjadi-jadi. Kubuang muka, mencoba membuat sketsa wajah di kepalaku berhenti bercermin di wajah sekelebat punggung tadi.

Bel pintu di samping kaca berdenting. Angin dari luar menyapa tengkuk, hangat, seolah lupa bahwa seharusnya dia bekerja sama dengan baik dengan musim bulan Februari. Rasa mulas masih menguasai sekujur. Perlahan tapi pasti, telapak kakiku berkeringat dingin, terjebak di dalam sepatu sebetulnya longgar-longgar saja. Rasa mulas kemudian ditemani dengan deru jantung yang tak beraturan. Nyaris kukira ada sesuatu yang salah dengan beberapa teguk kopi labu dari cangkir kertas ini. Pipiku menghangat, dipaksa tengkuk. Terus aku terpekur, berusaha menolak sensasi yang menjalari sekujur; berharap dengan diam tak bergeming akan mengembalikan deru jantung menjadi teratur.

Sejurus, sepasang kaki berdiri di samping mejaku. Hangat di tengkuk makin nikmat. Februari berkhianat. Aku pun mendongak, dan menangis sejadiku.

Senin, 06 Februari 2017

Ada Apa Dengan Percikan?

Beberapa bulan yang lalu, saya dan lingkaran pertemanan ciwi-ciwi terdekat rajin membicarakan kata chemistry dan spark. Kebetulan lima dari sahabat perempuan terdekat memang masih hidup soliter. Kami bukannya tidak dilirik para lelaki, bahkan sudah ada yang dilamar. Namun dua kata-kata pamungkas itulah yang menjadi patokan apakah para lelaki yang melirik bahkan melamar itu layak mendapatkan perempuan berkualitas seperti kami.

Sebenarnya, apa yang kami maksud dengan chemistry dan spark? Zat kimiawi? Percikan? Saya akan coba membedahnya, mewakili para perempuan kesayangan saya.

Jadi, chemistry dan spark adalah dua hal yang berbeda namun tidak terpisahkan. Sepemahaman saya, chemistry adalah level familiaritas percakapan. Bahasa gaulnya, nyambung enggak-nya. Biasanya chemistry muncul dari topik hobi yang sama, buku favorit, film favorit, tokoh politik favorit, klub sepakbola favorit, sampai berujung ke pembicaraan filosofis yang biasanya bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang pandangan hidup pihak yang sedang diprospek. Satu hal yang penting bagi saya, sebetulnya chemistry bisa dibangun dan dipupuk. Caranya? Dengan membiasakan diri dengan hal-hal yang disenangi oleh pihak yang diprospek. Perlahan level familiaritas percakapan akan meningkat seiring waktu, yang penting ada kemauan untuk menurunkan ego dan kompromi mengenai beberapa selera yang mungkin bertolak belakang.

Sayangnya, spark alias percikan tidak bisa dikamuflase atau diupayakan. Percikan itu 'ada', bukan 'muncul'. Jadi, dia bukanlah satu hal yang berproses, yang gradually bisa dihadirkan asalkan ada usaha. It's either there abundantly, or not at all, right at the moment you look into each other's eyes. Atau pada waktu kulit tidak sengaja bersentuhan. Atau pada waktu saling mendengar suara satu sama lain. Percikan adalah momen berhentinya denyut nadi kita sepersekian detik ketika menyadari adanya kehadiran pihak yang diprospek, apapun wujudnya. Bahkan aroma keringat, atau hal seremeh nama yang muncul di notifikasi smartphone pun bisa menjadi penanda percikan yang dahsyat sampai membuat lutut lemas. Saya sendiri sangat mengandalkan percikan. Tidak peduli seberapa tampan, seberapa cerdas, seberapa menarik seorang lelaki secara keseluruhan, semua akan sia-sia tanpa adanya percikan. Namun, bukan berarti ada yang salah dengan lelaki tersebut. The heart wants what it wants, and it's just not that guy.

Kesimpulannya, spark harus ada dulu supaya chemistry bisa berkembang. Tanpa percikan, tidak akan muncul keinginan untuk meningkatkan level familiaritas percakapan. I rest my case.

Jumat, 03 Februari 2017

Jadi, London itu...


Setelah hampir enam bulan hidup di London, akhirnya saya merasakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk meracau di blog lagi.

Saya tahu ini terdengar sangat generik, namun memang banyak pengalaman baru yang saya rasakan semenjak menjejakkan kaki pertama kali di London. Merasakan hidup kemana-mana jalan kaki minimal 5 kilometer sehari, merasakan harus berdesak-desakkan dengan seisi London di dalam tube tiap ada kuliah jam 9 pagi dan pulang kuliah pada jam pulang kantor, merasakan doing groceries yang bebannya membuat bahu rasanya hampir rontok sambil harus berjalan kaki beberapa kilometer dari rumah (sedangkan waktu di Indonesia kemana-mana selalu naik motor), merasakan serangan flu yang parah sampai suara habis sehabis-habisnya di awal musim dingin dan hanya mampu mengandalkan obat komersil yang dijual di Sainsbury karena membeli obat di apotek tidak semudah di Indonesia, dan lain-lain. Yang pasti, saya akhirnya memahami bagaimana kehidupan yang sepi dan sendiri di negara orang dapat membuat pertahanan fisik dan mental kita runtuh.

Desember adalah bulan yang paling menguji ketahanan diri saya, baik mental maupun fisik, sejauh ini. Tugas-tugas akhir term semua mata kuliah berkumpul di bulan ini. Angin dingin yang setiap hari menerpa diperparah dengan kondisi hati yang akhirnya patah. Flu hebat yang melenyapkan suara juga mendera di bulan ini. Kembali mendapati hati yang kosong dan menjalani kehidupan single di saat berjuang di negara asing ternyata tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Saya tadinya berpikir bahwa menjomblo akan menjadi pilihan yang lebih mudah dengan padatnya tugas kuliah yang harus ditunaikan, karena berarti saya tidak harus memikirkan bahwa sedang ada yang menunggu di Indonesia. Namun, saya salah. Saya baru menyadari di sini bahwa saya adalah pencinta, terbiasa menikmati romansa. Setelah saya urut ke belakang, hampir tidak pernah ada momen dalam hidup saya di mana saya tidak mengagumi dan menyukai ide romansa dengan seseorang, meskipun tidak selalu berarti kami menjadi pasangan. Saya bukannya tidak paham bahwa saya tidak perlu mengasosiasikan kedamaian hati dengan kehadiran orang lain, namun, gagasan bahwa diri ini tidak sedang merasakan pengharapan kepada seseorang membuat saya mengerti bagaimana sebuah kehampaan bisa terjadi.

Pada akhirnya, berdamai dengan sepi adalah pilihan yang tidak terelakkan. Saat virus mendera tubuh lagi seperti sekarang ini, hidup memaksa saya untuk tidak hanya menelan pahitnya ibuprofen, namun juga menelan kesendirian sebab tidak lagi punya tempat berkeluh kesah andalan karena semua orang terdekat punya kehidupan sendiri-sendiri. The brutal truth is nobody is really there to help. Teman baik, orang tua, saudara kandung, mungkin saja mendengarkan ceritamu dan memberikan perhatian yang layak, yang terbaik yang mereka mampu. Namun, pada akhirnya kamu tetap harus berjuang sendiri, di daratan asing dengan sisa-sisa daya yang kamu miliki.

Sekali lagi, sendiri.

Rabu, 10 Agustus 2016

Jakarta: Elu-Gue Selfie dan Seni Memaksa Diri

Hehe. Siapkan mata untuk a super long post, ya!
Kepada siapapun yang membaca blog ini, saya minta maaf karena tidak rajin menulis. Sebetulnya, overthinking terjadi setiap hari, jadi tidak ada yang namanya situasi 'tidak punya bahan tulisan'. Sayangnya, sudah hampir tiga bulan ini laptop tua milik saya (ACER angkatan 2007) rusak. Benar-benar rusak dan tidak bisa diselamatkan lagi. Jadilah saya 'menumpang' laptop punya adik. Laptop ini pun sesungguhnya sudah waktunya 'cuci otak' karena virus-virus sudah membuat performanya jadi sangat lambat.

Anyway...

Bulan Juni dan Juli kemarin, saya mengunjungi Jakarta lagi. Di bulan Juni, keperluannya adalah untuk mendatangi lapak pemulung di Pasar Minggu, guna menunaikan kewajiban menjadi sukarelawan program Menyapa Indonesia LPDP PK-46. Saya berada di Jakarta dari tanggal 2 sampai tanggal 4. Yang menjadi highlight acara kali ini adalah adik-adik yang kami temui di lapak pemulung tersebut. Sebagian besar dari mereka masih bersekolah SD, sebagian lagi masih belum sekolah. Di hari Sabtu, mereka kami beri materi wawasan kebangsaan, seperti peta Indonesia, makanan dan bahasa daerah, dan beberapa peristiwa bersejarah di daerah. Kemudian di hari Minggu, kami mengajarkan cara membuat kerajinan tangan dari kain flanel dan dakron.

Interaksi selama dua hari itu membuat saya jadi sedikit tahu tentang bagaimana kondisi anak-anak di daerah pinggiran kota Jakarta. Cara bicara mereka berbeda dari anak-anak di daerah tempat saya tinggal, Ponorogo. Mereka lebih lugas alias ceplas-ceplos. Ada beberapa adik yang dengan berani meminta sisa makanan ringan yang kami bagikan untuk dibawa pulang, padahal sebelumnya mereka sudah dapat jatah. Hahaha. Lalu, selama ini saya kira bahasa "elu-gue" itu monopoli orang dewasa ibu kota. Ternyata anak usia TK pun sudah menggunakan bahasa itu untuk berinteraksi dengan teman-temannya. Yang membuat saya sedikit heran, ada seorang adik yang nginthil terus pada saya, dan akhirnya meminta selfie. Hmm. Anak zaman sekarang memang tidak mungkin tidak kenal selfie, ya?

Untungnya kepolosan mereka masih khas anak-anak seusianya. Taruhan, daya tangkap pengetahuan mereka tidak kalah dengan anak-anak yang tinggal di tengah kota. Ada satu adik yang bertanya pada kami:
"Kakak, tahu gedung-gedung yang tinggi di kota? Kakak pernah masuk?"
"Gedung apa?"
"Yang banyak kacanya itu lho!"
"Oooh. Kenapa memangnya?"
"Di dalamnya kayak apa, sih, Kak?"
Saya dan teman saya pun saling berpandangan.

Moving on...

Kunjungan di bulan Juli kemarin bertujuan untuk menghadiri Pre-Departure Briefing yang diadakan oleh British Council di Soehana Hall, di daerah SCBD, tanggal 23 siang. Acara tersebut sangat informatif dan englightening. Karena satu dan lain hal (meminjam istilah teman traveling saya, Mbak Nana :D), saya dan Mbak Nana terpaksa batal pulang tanggal 24 padahal tiket kereta sudah tinggal dicetak saja. Di tanggal 25 kami punya agenda pergi ke kantor LPDP untuk menanyakan Letter of Guarantee (LoG) saya yang entah mengapa rejected sampai 2 kali.

Karena kami masih ada tanggungan keliling Jakarta, pastinya harus menghemat uang transportasi. Dari yang biasanya memilih naik GrabCar, Gojek, atau GoCar untuk menghemat waktu dan menghindari nyasar, kami beralih ke Busway dan KRL. Ini pelajaran berharga untuk saya yang sama sekali tidak pernah naik angkutan umum tiap datang ke Jakarta. Syukur Alhamdulillah, Mbak Nana bisa diandalkan untuk menjadi 'GPS berjalan' (semoga barokah tuntunannya kemaren, Mbak! :D) Pengalaman traveling saya masih sangat minim, kalau tidak mau dibilang tidak ada sama sekali. Hehehe. Mbak Nana sendiri sudah sering backpacker-an, traveling kesana-kemari, jadi sudah terbiasa dengan kendaraan umum.

Yang namanya naik kendaraan umum, sudah tentu kami harus berjalan kaki untuk mencapai stasiun KRL dan halte Busway. Lha iki. Judge me all you want, sejak SMP saya sudah terbiasa kemana-mana naik motor, entah dibonceng atau menyetir sendiri. Bahkan saat SMA, dengan jarak rumah ke sekolah yang tidak sampai 1 kilometer, saya naik motor tiap berangkat dan pulangnya. Saat kuliah, jarak dari rumah ke kampus memang lumayan, sekitar 10 kilometer. Sehingga naik motor bisa dibenarkan, setidaknya. Kesimpulannya, SAYA HAMPIR TIDAK PERNAH JALAN KAKI JARAK JAUH.

Pengalaman jalan kaki kesana-kemari bersama Mbak Nana di Jakarta itu membuat saya berpikir bahwa motor, GrabCar, Gojek, dan GoCar adalah zona nyaman saya. Berjalan kaki kemana-mana jelas bukan zona nyaman saya. Apalagi saat itu saya harus menenteng tas ransel yang lumayan berat dengan isi laptop dan kebutuhan selama 4 hari, ditambah tas selempang yang isinya juga lumayan bikin ngos-ngosan. Mbak Nana mah tegar, berjalan dengan cepatnya di depan saya, sementara saya beberapa kali berhenti karena sendi bahu rasanya mau lepas dan telapak kaki sudah lecet di bagian bawah jempol. Saya paksakan terus berjalan karena kalau tidak, siapa yang mau menggendong saya dari Pasar Baru ke Stasiun Pasar Senen?!

Bagian happy-nya tentu ada. Saya jadi sadar bahwa saya memang butuh berjalan jauh. Bulan depan InsyaAllah saya sudah di London, dan sebagai Londoner nantinya saya pasti harus jalan kaki kesana-kemari. Jadi pengalaman kaki lecet di Jakarta itu adalah percobaan. Allah SWT memberi sedikit gambaran apa yang harus saya siapkan untuk hidup di negeri orang satu tahun ke depan: kaki dan bahu yang kuat! :D

KELUAR DARI ZONA NYAMAN ITU PENTING, GUYS! This is irrefutable.

P.S. Special thank-you-note untuk Mbak Ginar yang sudah mengizinkan apartemennya dijadikan 'barak penampungan'. :*
    

Senin, 21 Maret 2016

Saya Banyak Bertanya, Salahkah?

Beberapa bulan yang lalu, saya bertanya kepada dua orang teman: Mengapa kalau orang mengunggah foto sedang sholat ke media sosial, kebanyakan di-bully, dibilang pamer, dibilang riya', dibilang tidak sah ibadahnya; sedangkan kalau orang mengunggah foto sedang ritual haji atau umroh, kebanyakan mendapat komentar, "Alhamdulillah, semoga nular ke aku, ya", "Barakallah ya, ukhti/akhi", "Subhanallah, semoga mabrur"? Apakah masalahnya terletak di 'ukuran' ibadahnya? Karena kalau sholat itu ibadah sehari-hari dan affordable untuk seluruh umat Islam, sedangkan kalau umroh atau haji itu ibadah 'besar' membutuhkan biaya yang sedikit dan tidak semua bisa melakukannya lebih dari satu kali? Mengapa jika yang 'sehari-hari' yang diunggah lantas jadi masalah riya' sedangkan jika yang 'besar' bisa diunggah tanpa dihujat? Intinya mengunggah, kan, untuk menunjukkan ke orang lain di media sosial bahwa seseorang tersebut SUDAH beribadah. Iya, kan? Saya tidak mengerti, bahkan sampai saat menulis postingan ini pun saya belum menemukan jawabnya.

Dalam obrolan tersebut satu teman saya menjadi ikut menebak-nebak apa gerangan penyebabnya. Sedangkan teman saya yang satunya berbeda. Dia justru melontarkan komentar telak, "Kamu selalu begini. Sering merepotkan hal-hal yang bukan urusanmu, yang tidak penting untuk kamu pikirkan. Kalau orang mengunggah foto sholat atau foto umroh atau haji, apa ruginya buat kamu? Tidak ada kan? Lalu mengapa kamu memusingkannya? Tidak suka ya tidak usah dilihat." Tak pelak, saya tertohok. Lalu saya melanjutkan, "Ini bukan urusan suka atau tidak suka. Aku hanya ingin mengerti, mengapa ibadah yang satunya dihujat ketika ditunjukkan, sedangkan yang lain tidak."
"Tidak semua hal di dunia ini harus kamu mengerti atau pahami, Maz." tutup teman saya tadi. Obviously, that got me thinking. Apa iya? Apakah usaha untuk mencoba mengerti sekalipun hal itu 'tidak penting' untuk saya juga tidak perlu dilakukan, tidak worth a try?

Obrolan tersebut membuat saya kepikiran sampai berminggu-minggu. Apa iya saya ini sering merepotkan hal-hal yang tidak penting untuk saya? Apa iya pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikiran saya sebenarnya banyak yang tidak perlu saya pusingkan? Memang, pertanyaan soal ibadah di atas bukan secara langsung urusan saya, karena bukan foto saya yang jadi bahan pembicaraan. Benar apa yang dibilang teman saya, foto ibadah orang lain tidak merugikan saya.

Sayangnya, saya adalah tipe orang yang tidak bisa tidak bertanya-tanya ketika melihat sesuatu yang ganjil atau tidak biasa. Simpelnya 'mudah terganggu'. Ketika menonton acara televisi yang menurut saya tidak ada 'isinya' sama sekali tapi begitu banyak penggemarnya, saya mengernyit, "Kok bisa? Mengapa?" Ketika melihat banyak orang mengunggah foto luka yang berlumuran darah atau lengan yang diinfus, saya juga langsung berpikir, "Mengapa ada orang yang ingin menunjukkan kalau dia sedang susah? Dengan gambar infus atau luka yang berdarah-darah? Apa yang mendorong mereka melakukannya?" Sederhana sebenarnya, saya sedang mencoba paham. Orang bijak mengatakan bahwa janganlah membenci apa yang tidak kita pahami. Maka jadilah, saya mencoba memahami dengan memikirkannya.

Kemudian saya bertanya kepada my significant other, Ian, tentang apakah diri ini memang terlalu banyak bertanya-tanya, memikirkan sesuatu yang tidak penting; tentang apakah memang jika sesuatu tidak merugikan saya, lantas tidak perlu dipertanyakan? Dia menjawab panjang lebar, menjelaskan bahwa intinya saya memang terlalu banyak bertanya dan harus memilih-milih kepada siapa saya mengungkapkan pertanyaan itu. Apa yang saya pikirkan belum tentu dipikirkan orang lain, dan mengutarakannya kepada orang lain juga bisa membuat mereka tak nyaman. Menurut Ian, yang terjadi dalam obrolan saya dengan dua teman di atas adalah karena saya memilih orang yang salah untuk diajak berdiskusi. Ian paham bahwa arah pertanyaan saya bisa diteruskan menjadi diskusi budaya, seperti halnya saya mempertanyakan tren maternity shots yang marak di Instagram (yang kalau dipikir-pikir sebenarnya juga tidak merugikan saya), dan menyarankan jika lain kali ingin berdiskusi tentang suatu fenomena budaya dan bukannya 'dibunuh dengan telak' tanpa jawaban, saya harus menanyakan hal tersebut pada orang yang memiliki interest yang sama dengan saya. Jelas bahwa teman saya tadi tidak memiliki interest yang sama, karena terbukti diskusi tidak berjalan.

Jadi, kesimpulannya: tidak ada salahnya banyak bertanya, banyak berpikir, banyak 'terganggu'. Yang tidak merugikan kita belum tentu tidak salah. Yang bukan urusan kita belum tentu tidak layak dipertanyakan. Asalkan pertanyaannya bisa diarahkan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Asalkan kita memilih orang yang tepat untuk bertanya.

Anyway, ada yang bisa menjawab pertanyaan tentang perbedaan foto sholat dengan foto haji/umroh di media sosial?

Until next time!

Sabtu, 14 November 2015

PK-46 BPI LPDP: Cerita Anak Kota Kecil Dengan Pengalaman Besar

Persiapan Keberangkatan-46, atau biasa disingkat PK-46, yang diselenggarakan oleh LPDP untuk para awardee angkatan 46 sudah berakhir satu minggu yang lalu. Sudah hampir seminggu pula saya kembali di rumah Ponorogo. Berbagai pelajaran dan kenangan dari PK-46 sudah saya letakkan dengan rapi di laci-laci benak, dan siap dibuka lagi kapanpun saya butuhkan. Beberapa di antaranya saya ingin bagikan di sini, di blog yang pembacanya cuma teman-teman kuliah dulu ini. Hehe.

***

Saya tiba di Jakarta pada 30 Oktober malam dan langsung menginap di tempat sahabat saya semasa SMP, Tita, di daerah Ragunan. Besoknya, saya pergi ke Wisma Hijau untuk kumpul-kumpul pra-PK; bertemu sapa dengan teman satu kelompok, latihan yel-yel, latihan lagu angkatan dan mars LPDP. Teman-teman satu angkatan datang dari berbagai latar belakang keilmuan dan asal-usul. Usia kami tidak seragam, bahkan ada yang sudah menjadi dekan di kampus tempatnya mengabdi. Hebatnya, beliau-beliau yang terhitung senior tidak enggan membaur dengan yang muda, berbagi ide, dan memainkan yel-yel yang bisa jadi terkesan so juvenile. Keren! Yang muda pun tidak segan bercanda dengan yang senior, dan hal ini membuat atmosfir angkatan menjadi menyenangkan. Ketika diberi arahan untuk berjoget, semua berjoget. Ketika diberi arahan untuk menyanyi, semua menyanyi.

Kebetulan ada teman satu kelompok saya yang bertahun-tahun sebelumnya sudah pernah saya stalk lewat Facebook. Namanya Mbak Ginar Santika. Kok bisa?
Dulu ketika saya baru masuk kuliah S1, program Indonesia Mengajar baru diselenggarakan. Karena saat itu saya baru masuk kuliah S1, hasrat untuk ikut program ini dan menjajal diri untuk mengajar di daerah terpencil masih tertahan. Saya ini kalau sudah ingin mendapatkan sesuatu, segala tentang sesuatu itu pasti saya cari-cari dan jadikan motivasi untuk meraihnya. Berkaitan dengan keinginan ikut Indonesia Mengajar itu, saya akhirnya meng-add akun Facebook sebagian besar Pengajar Muda Angkatan 1. Tujuannya cuma satu: SAYA KEPO. Saya ingin tahu orang yang seperti apa yang diterima sebagai Pengajar Muda, saya ingin tahu prestasi apa yang mereka pernah raih, saya ingin tahu bagaimana cara mereka berkontribusi untuk komunitas yang mereka layani; intinya saya ingin menjadikan mereka motivasi untuk menjadi lebih baik. Siapa tahu ketika saya lulus S1 nanti berkesempatan untuk ikut seleksi Indonesia Mengajar.
Waktu bertemu Mbak Ginar, rasanya saya sudah tidak asing dengan nama ini, seperti sudah pernah mengenal nama ini. Benar saja! Waktu istirahat tiba dan saya akhirnya bisa ngobrol-ngobrol santai dengan teman-teman satu kelompok, Mbak Ginar memberitahu bahwa dia adalah Pengajar Muda Angkatan 1! Allahu Akbar! What are the odds! Saya pernah stalking akun Facebook Mbak Ginar sekitar 5 tahun yang lalu! Lalu saya menanyakan kabar pengajar-pengajar muda angkatan 1 yang lain yang saya sering temui di beranda Facebook. Mungkin waktu itu saya terkesan creepy, ya, Mbak? Kenal juga enggak, tapi tahu banyak sekali tentang mereka. Hehe. Maafkeun.
Memang saya tidak ditakdirkan untuk jadi Pengajar Muda seperti yang pernah saya impikan dulu, tapi akhirnya saya dipertemukan dengan salah satu Pengajar Muda angkatan 1 yang pernah saya stalking dulu, lewat LPDP. Hehe.

Sebetulnya, kejadian itu sempat membuat saya minder. Seorang purna Pengajar Muda seperti Mbak Ginar ada di LPDP. Teman-teman lain PK-46 juga hebat-hebat. Kontribusi mereka sudah nyata untuk Indonesia, sesuai dengan apa yang diharapkan LPDP. Sedangkan saya? Ya Allaaah...belum jadi apa-apa. Saya baru lulus S1 tahun kemarin dan belum pernah bekerja di sektor yang kontributif untuk negeri ini. Saya jadi meragukan diri sendiri waktu itu. Apalagi sebagian besar dari kawan PK-46 berasal dari jurusan eksak, bukan budaya seperti saya.
Untunglaaaaah...ketika saya mencurahkan isi hati ini kepada teman sekamar saya di Wisma Hijau, Mbak Nana dan Nina, mereka menyemangati saya dan menyebutkan banyak kawan yang juga berasal dari latar belakang pendidikan budaya. Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk merasa minder.

Selama satu minggu kemudian, kami satu angkatan mendapatkan banyak sekali pelajaran dari program Persiapan Keberangkatan ini. Kami jadi lebih mencintai tanah air dan bertekad berkontribusi untuk pembangunan bangsa sebagai "satria cendekia yang siap berkarya". Kami mendapatkan keluarga baru yang kocak-kocak, ramah-ramah, unik-unik, yang sampai sekarang masih rutin heboh bertukar cerita dan gosip di akun LINE angkatan. Sebagai seorang anak kota kecil, pengalaman ini terasa begitu besar bagi saya. Oh iya, (sebenarnya saya sedikit malu mengakuinya) saya jadi belajar berbahasa Indonesia dalam keseharian selama menjalani PK. Sebelumnya saya hampir selalu berbahasa Jawa karena kehidupan saya ya berputar di sekitar-sekitar Jawa Timur saja. Sampai-sampai supir taksi yang saya naiki di Minggu pagi tanggal 1 November bertanya, "Mbak, dari Jawa, ya? Jawa Timur?" hanya karena logat Jawa saya yang kental sekali. Hahaha.

Untuk teman-teman sesama orang Jawa Timur, sering-seringlah ikut acara nasional, bisa berupa seminar, konferensi, atau acara volunteer yang mempertemukan kalian dengan teman-teman dari seluruh daerah di Indonesia, supaya bahasa Indonesia kalian terasah secara lisan. Karena kemarin saya agak kesulitan sejujurnya (atau saya-nya saja yang kelewat ndeso).

Till the next time I write again!