Senin, 14 September 2015

Cerita Berburu Beasiswa BPI LPDP: Part II

Setelah mendapatkan pengumuman lolos seleksi administrasi, saya langsung menghubungi sahabat yang tinggal di Surabaya. Berniat menumpang, ceritanya. Saya sudah banyak merepotkan sahabat yang namanya Kustin ini dari zaman kuliah. Haha. Bahkan saat sedang mengikuti teacher training dulu saya juga menumpang di kos dia (I kinda owe you a lot!). Saya datang di Surabaya tanggal 25 Agustus 2015 jam 2 siang. Malam harinya, saya kembali merepotkan Kustin untuk mencari-cari lokasi seleksi substantif yaitu Gedung Keuangan Negara, Jl. Indrapura No. 5, Surabaya. Ternyata lokasinya cukup jauh dari tempat kos Kustin yang berada di Jl. Mayjen Sungkono. Saya langsung menyiapkan mental untuk berangkat pagi-pagi sekali esok harinya.

Jam setengah 7 pagi saya sudah berada di tengah padatnya jalanan pagi Surabaya demi mengejar cita-cita. Anehnya, saat malam sebelumnya saya masih mencari-cari alamat GKN Surabaya, saya merasa jaraknya sangat jauh dari tempat kos Kustin. Namun, begitu pagi saya berangkat dengan yakin, ternyata tidak sampai 15 menit kemudian saya sudah sampai di lokasi seleksi.

Terlalu pagi? Jelas. Untungnya sudah ada beberapa teman seperjuangan yang tiba di tempat parkir sehingga saya tak perlu mencari-cari ruangan seleksi sendirian. Ruang berkumpulnya peserta sekaligus tempat verifikasi dokumen ada di lantai 7, ruang pengerjaan esai ada di lantai 3, dan ruang diskusi grup ada di lantai 2. Karena masih terlalu pagi dan acara baru dimulai jam 8 pagi, akhirnya saya sempatkan tidur lagi di kursi peserta. Haha. Mumpung masih sepi, begitu pikir saya. Begitu saya bangun, peserta sudah banyak, dan saya gelagapan karena kursi-kursi di sebelah dan depan saya sudah berpenghuni. Ups!

Saya mendapatkan jadwal verifikasi dokumen jam 10 pagi dan wawancara pada jam setengah 2 siang. Di sana saya bertemu dengan Mas Irul, kakak tingkat saya di kampus dulu. Dia mendapatkan jadwal wawancara lebih dulu daripada saya, akhirnya saya menunggu sendirian lagi. Saat proses verifikasi, saya hampir mendapat masalah karena surat referensi dari dosen yang saya serahkan pada panitia merupakan hasil scan karena saya mendapatkannya via email. Panitia kemudian menyuruh saya untuk menunjukkan bukti korespondensi dengan dosen tersebut yang valid dari history email saya. Saya langsung membuka ponsel saya, dan mencari arsip email itu di inbox akun Gmail. Rasa deg-degan pun bertambah karena sinyal T*lk*ms*l di dalam gedung tersebut lemot sekali sampai akhirnya panitia menyuruh saya mundur dulu untuk membiarkan peserta lain memulai proses verifikasi. Akhirnya, arsip email tersebut bisa diakses! Alhamdulillah!

Jam 1 siang saya sudah mengantri di kursi antrian wawancara. Tidak lama kemudian (padahal rasanya seperti satu minggu menunggu), nama saya dipanggil untuk masuk ke ruang wawancara. Di ruangan tersebut ada 9 meja pewawancara, kalau tidak salah, dan setiap meja ditempati oleh 3 pewawancara. Saya mendapatkan kelompok wawancara nomor 4, yang tempatnya tepat di ujung ruangan, lurus dengan pintu masuknya. Setelah menitipkan tas pada panitia (ya, tas tidak diperbolehkan di bawa ke kursi wawancara), saya berjalan dengan mantap ke meja pewawancara saya. Ada dua orang ibu, satu psikolog dan satu lagi dosen Sastra Inggris dari UNY, dan satu orang bapak yang saya tidak tahu apa profesinya (yang jelas posisinya dalam wawancara ini sebagai pakar). Wawancara dimulai dengan beliau-beliau mempersilakan saya memperkenalkan diri. Setelah itu, ibu dosen dari UNY menanyakan perihal pilihan kampus saya, UCD Irlandia. Si bapak mengomentari "Why? It's sooo far and very very cold there!" Saya mengiyakan dan ikut tertawa, kemudian menjelaskan bahwa setelah melakukan internet research, saya meyakini bahwa semua mata kuliah yang ditawarkan oleh kampus tersebut untuk jurusan Gender, Sexuality, and Culture, adalah yang paling pas untuk mendukung disertasi saya nantinya.
Kemudian pembicaraan beralih ke topik disertasi saya. Si ibu dosen menanyakan mengapa saya memilih topik tersebut. Lalu si bapak menyambung, "What is the benefit of your dissertation for this country?" Lalu saya menjelaskan jawaban saya panjang lebar dengan mantap. Lalu si bapak bertanya lagi, "As you know that there might be some cons regarding your research from religious people in this country, how are you going to handle that?" Aduh! Saya sama sekali tidak menduga pertanyaan ini. Saya sempat blank beberapa saat. Sambil mengulur waktu berpikir saya, saya mengulang lagi statement saya mengenai keuntungan disertasi saya bagi negara ini, lalu menutup argumen dengan, "I'm aware that pros and cons are inevitable and that would be my challenge for this dissertation, but challenges do not stop me."
Banyak pertanyaan lain yang saya tidak ingat dari kedua pakar bidang bahasa, seni, dan budaya tersebut. Ketika tiba giliran sesi dengan ibu psikolog, beliau menyanyakan tentang masa kecil saya yang tertulis di esai 'Sukses Terbesarku'. Air mata tidak dapat saya bendung pada sesi ini. Pembicaraan tentang orang tua selalu membuat hati ini menjadi lembek dan kantung air mata menjadi manja. Lalu beliau menanyakan mengenai bagaimana saya bisa mendapatkan IPK 3,59 dan mendapatkan gelar Best Graduate dari program studi saya. Pertanyaan terakhir dari beliau adalah apa yang akan saya lakukan seandainya tidak lolos seleksi LPDP kali ini.

Setelah acara wawancara selesai, saya langsung pulang ke tempat kos Kustin karena jadwal LGD dan penulisan esai saya masih keesokan harinya.

***

Pada tanggal 27 Agustus 2015, jadwal tes penulisan esai untuk kelompok saya adalah pukul 11 dan LGD pada pukul 2 siang. Hari itu tidak berjalan mulus bagi saya. Karena lupa belum membeli papan jalan untuk penulisan esai, saya harus pelan-pelan mengendarai motor sambil mencari tempat fotokopi atau toko alat tulis yang sekiranya menjual papan jalan. Padahal, jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 10.35. Belum lagi masih harus menghadapi macetnya kota Surabaya di siang hari. Ya Allah!

Saya sampai di parkiran GKN pukul 10.50. Saya tahu waktu sepuluh menit tidak akan cukup bagi saya untuk naik ke lantai tujuh lewat tangga. Namun ketika masuk gedung, Ya Allah...antrian di depan lift di tiap lantai membuat putus asa dalam sekejap. Baiklah! Saya harus ngebut naik tangga kalau begitu caranya. Karena saya ini orangnya jarang sekali (JARANG SEKALI) berolahraga, napas pun habis begitu sampai lantai tujuh, ditambah kedua lutut rasanya jadi cair. Sambil mengatur napas dan langkah kaki, saya menuju meja verifikasi dan melaporkan keterlambatan. Kemudian saya harus turun lagi ke lantai 3 untuk mengerjakan esai. Ya Allah! Rasanya kaki ini mau lepas!
Begitu sudah duduk di dalam ruangan, saya masih sibuk mengatur napas sambil memegang kertas soal dan lembar jawaban. Tanpa pikir panjang, saya memilih topik nomor dua yaitu "konflik antar umat beragama karena pemimpin golongan tidak bijak dalam berkomunikasi", lalu dengan cepat menyusun kerangka argumen di kepala. Mengingat waktu yang diberikan hanya setengah jam, saya memutuskan untuk membuat esai pendek yang isinya satu paragraf pembukaan, satu paragraf isi, satu paragraf solusi, dan satu paragraf kesimpulan. Saya melihat tidak ada kesempatan untuk berindah-indah kata dan membuat esai panjang yang mengesankan, jadi langsung ke intinya saja. Sempat melirik-lirik teman di samping kanan dan kiri, Ya Allah...esainya panjang-panjang! Dua halaman lembar jawaban mereka isi. Sedangkan saya, satu halaman saja tidak penuh. Agak pesimis juga (siapa suruh melirik punya orang lain!) waktu keluar ruangan.

Waktu menunggu antara selesainya on-the-spot essay writing dan dimulainya LGD saya gunakan untuk tidur lagi (saya suka sekali tidur, hahaha) di kursi tunggu peserta di lantai tujuh. Alhamdulillah saya tidak terlambat lagi untuk LGD. Hehe. Begitu sudah di dalam ruangan diskusi, seorang bapak psikolog menerangkan peraturan proses diskusi grup ini. Ada tujuh orang dalam kelompok kami, termasuk saya. Topik yang kami diskusikan adalah prosedur penyitaan kekayaan dan aset gembong narkoba. Secara keseluruhan, diskusi berjalan mulus, meskipun Mas Moderator (yang mengajukan diri) malah mendapatkan porsi berbicara paling banyak, dan ada seorang anggota yang berbicaranya sedikit sekali namun lebih banyak tersenyum mengiyakan yang lain.

Cerita beasiswa ini masih berlanjut ke Part III, tentang tips-tips esai dan seleksi substantif. Thank you! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar