Jumat, 29 Agustus 2014

Tentang cinta pertama dan mengapa itu penting untuk kesehatan jiwa

Cinta pertama saya adalah seorang teman TK, SD, dan SMP dulu. Ya, satu orang spesial yang kebetulan sama-sama makan bangku pendidikan dari tempat yang sama dengan saya. Namanya, sebut saja S. Saya dan S sempat menjadi kawan karib di kelas 3 SD, waktu masih zamannya film anak-anak Big Bad Beetle Borgs di salah satu stasiun televisi swasta di negeri ini. Sayangnya, S kemudian terbawa arus anak-anak lain yang mem-bully saya, dan cerita perkawanan kami pun berakhir.
Seperti cerita-cerita cinta lainnya, setelah saya dan S tidak lagi berkawan, saya sadar sepertinya saya sudah menganggapnya lebih dari sekadar kawan. Sampai akhirnya di kelas 6, ketika saya berpisah kelas dengan S ini, saya diam-diam merasa rindu. Waktu itu saya belum mengartikan ini cinta, karena masih ingusan dan belum lagi mendapat haid pertama saya.

Tak disangka, S dan saya masuk ke SMP favorit yang sama di kota kampung halaman saya. Rupanya rasa rindu yang saya rasakan di kelas 6 dulu berlanjut. Lewat beragam intrik dan cerita yang saya alami di SMP, saya semakin tidak bisa menganggap S adalah sosok yang biasa saja di hidup saya.

Long story short, S kemudian lolos ke SMA favorit di kota kampung halaman saya, dan saya memilih bersekolah di pondok pesantren selepas SMP. Ada beberapa kegilaan yang saya lakukan untuk menuruti rasa rindu saya terhadap S, dari mulai meneleponnya di pagi buta di tanggal ulang tahunnya, dari wartel pondok, hingga membelikan kado sebuah buku yang sampai sekarang tidak pernah saya berikan karena terlalu malu.

***

Mengapa punya cinta pertama itu penting untuk kesehatan jiwa?

Fase cinta pertama terjadi pada usia yang berbeda-beda bagi tiap orang. Saya, baru sadar bahwa S itu cinta pertama saya saat menginjak bangku SMP, padahal saya sudah mengenalnya sejak masih piyik kelas TK nol kecil. Ada yang baru merasakan rasa berdebar setiap kali bertemu satu sosok lawan jenis di bangku SMA. Kapanpun itu terjadi, jangan lari. Hayati, rasakan, pahami. Biarkan rasa berdebar-debar yang gila dan memabukkan itu membungkam logika sejenak. Biarkan diri lepas dari kendali sebentar. Dengan begitu, seseorang akan mulai memahami cara kerja hatinya sendiri dan ini bisa membawa dampak ketika sudah dewasa nanti.

Saya berani mengatakan ini karena saya sudah mengenal lebih dari 10 orang yang mengaku tidak mempunyai cinta pertama, dan akhirnya masih belum bisa mengekspresikan perasaan meskipun umurnya sudah 20-an. Kebanyakan dari mereka sulit menangis saat bersedih, padahal berkata ingin bisa menangis. Ada juga yang tidak bisa marah tiap kali ada orang yang mengecewakan mereka, karena terlalu buta bagaimana menafsirkan rasanya hati. Akhirnya, hanya bisa diam. Ada pula yang emosinya malah meledak-ledak karena tidak bisa meredam rasa berdebar berlebih di dada tiap kali egonya tersulut.
Di sisi lain, orang-orang yang mengaku punya cinta pertama, begitu luwes mengekspresikan perasaannya. Bahkan beberapa pandai sekali merangkai kata. Mereka saya kenal punya pribadi yang lebih hangat dan murah bicara.

Saya tidak membuat sebuah generalisasi di sini, saya hanya menjabarkan pengamatan yang saya lakukan. Silakan jika ada yang membaca tulisan ini lalu mempunyai pendapat berbeda, saya setuju untuk berbicara lebih banyak.

Rabu, 27 Agustus 2014

Tentang tombol 'dislike' di Facebook dan mengapa sebaiknya itu tidak ada

Saya sering sekali melihat status teman-teman saya di Facebook yang mengeluhkan tidak adanya tombol dislike alias tombol 'tidak suka' di sosial media tersebut. Saya juga sempat berpikir alangkah praktisnya kalau ada tombol dislike Facebook, saya jadi bisa dengan jelas menunjukkan rasa tidak suka saya pada postingan teman, baik itu foto, status, maupun check-in 'alay' yang mereka unggah. Alasan saya waktu itu, supaya mereka tahu bahwa yang mereka lakukan itu sama sekali nggak keren dan banyak tidak disukai orang.

Lalu, saya berpikir ulang.

Saya ini korban bully waktu SD. Saya hampir tidak punya teman, baik laki-laki maupun perempuan, entah mengapa. Mungkin karena saya bandel, sering tidak mengerjakan PR, sering datang terlambat, pendek, hitam, dan tidak cantik. Itu hanya tebakan saya. Aslinya, saya tidak paham kenapa saya dulu di-bully. Saya sudah pernah merasakan bagaimana rasanya dituduh mencuri di dalam kelas, sampai akhirnya dipaksa mengaku oleh salah seorang guru yang terang-terangan menyatakan rasa tidak sukanya pada saya. Saya sudah pernah merasakan rasanya dipanggil 'najis' oleh teman sekelas dan diludahi, dengan alasan yang tidak jelas. Yang pasti, teman-teman SD saya sejak kelas 2-5 jelas-jelas menunjukkan rasa tidak sukanya pada saya.
Sampai akhirnya saya pindah kelas di tahun keenam, dari kelas (yang katanya) unggulan, A, ke kelas (yang katanya) buangan, C. Saya langsung cocok di sana, dengan teman-teman yang lebih toleran. Mereka tidak peduli apakah temannya sering telat, atau sering tidak mengerjakan PR, pendek, atau tidak cantik, sepanjang dia baik dan tidak pelit, dia pasti akan ditemani. I have so many fond memories with the class.

Pengalaman ini yang membuat saya berubah pikiran bahwa tombol dislike di Facebook itu nantinya bisa jadi alat bully modern kalau betul-betul diadakan oleh Mark Zuckerberg. Orang-orang akan dengan mudahnya menunjukkan rasa tidak sukanya pada setiap teman Facebooknya, dan orang yang menerima tombol dislike itu lama-lama akan merasa bahwa dirinya tidak cukup baik untuk ada di lingkungan maya tersebut, hampir sama seperti saya dulu. Saya dulu sering berpikir, "Sejelek apakah saya sampai saya tidak punya teman di kelas?" Apalagi kalau sampai dia menerima puluhan tombol 'tidak suka' pada satu postingan saja. Bisa-bisa jatuh depresi hanya karena bermain sosial media.

Lagipula, jika saya tidak suka dengan postingan teman saya di Facebook, ada fitur Hide this post. Tak perlu menyakiti hati siapapun, kenyamanan saya pun tidak terganggu. Jadi, tidak perlu ada yang namanya dislike button.

Selasa, 26 Agustus 2014

Sudah terlalu lama berhenti maraton novel



Membaca saja sudah jarang, apalagi menulis.

Waktu kelas 1 SMA dulu, saya pernah menulis draft novel sebanyak 300 halaman. Ketika saya ajukan ke kepala sekolah saya, yang juga seorang sastrawan, untuk proof-reading, beliau terkejut. Seusia 16 tahun, saya sudah bisa konsisten menulis selama 3-4 bulan untuk menyelesaikan sebuah draft novel sepanjang itu. Setelah saya pikir-pikir lagi sekarang, pasti saat itu saya sedang gila. Novel itu pun akhirnya diterbitkan koran lokal sebagai cerita bersambung, selama kurang lebih 20 edisi.

Waktu tahun-tahun pertama kuliah, saya berhasil menulis 4 cerpen utuh, masing-masing berjumlah 5-6 halaman. Sayangnya, semakin tua usia semester kuliah, saya semakin jarang membaca. Itu berakibat pada produktifitas menulis saya yang jauh berkurang. Saya kesal dan merasa gagal sebagai seorang kutu buku. Sepertinya saya tidak lagi pantas menyandang gelar kutu buku yang sedari kecil saya bangga-banggakan.

Orang-orang sering bilang, penulis yang baik adalah seorang pembaca yang rajin.

Maka dari itu, karena saya sedang mulai membangun semangat menulis lagi dan meneruskan mimpi masa kecil untuk menjadi penulis, sekarang saya ingin menantang diri sendiri. Ada 12 novel di rak buku saya yang belum selesai saya baca, beberapa di antaranya malah sudah saya biarkan hanya bertengger sejak 2 tahun yang lalu. Sampai akhir tahun nanti, saya harus bisa menyelesaikan 12 novel tersebut. Ini daftar judulnya:

# Katarsis - Anastasia Aemilia
# The Song Reader - Lisa Tucker
# Paulo Coelho - The Pilgrimage
# The Mediator: Reunion - Meg Cabot
# Autumn Once More - Kumcer Editor & Penulis Gramedia
# Size 12 is Not Fat - Meg Cabot
# Rescuing Rose - Isabel Wolff (Eng. Version)
# In the Cards: Fame - Mariah Fredericks (Eng. Version)
# Victoria and the Rogue - Meg Cabot
# Maya - Ayu Utami
# Si Parasit Lajang - Ayu Utami
# ROMA - Robin Wijaya

I wish you luck, self!

Minggu, 24 Agustus 2014

Prosa pendek: Teman terkadang


Photo credit: Pravsworld

Aku tak pernah keberatan menemanimu sewaktu dia pergi. Bagiku, bisa mendapatkan kesempatan denganmu sepuluh menit saja sehari tanpa ada saingan, hampir surgawi. Aku suka mendengar ocehanmu yang seringnya absurd. Aku suka berpura-pura menjadi kekasihmu ketika menyeka airmata yang menjalur di pipimu. Aku tak pernah bisa berhenti tertawa ketika kamu mengganti lirik lagu bahasa Inggris dengan bahasa Jawa dengan acuh.

Orang boleh menyuruhku mencari kekasih sungguhan, bukannya mendamaikan kegilaanku dengan cara menemanimu setiap dia pergi. Kata mereka, aku hanya buang-buang waktu. Mereka sering berseloroh kamu bodoh, karena seperti apapun sakitnya bersama dia, kamu tidak akan pernah mau menukarnya dengan seperti apapun manisnya bersamaku. Aku tidak pernah mengimani bahwa selama ini aku membuang-buang waktu. 

Seperti nelayan, yang tak pernah merasa membuang-buang waktu dengan menebar sepuluh jala, padahal musim sudah kukuh hanya mau bermurah hati pada tujuh jala saja. Karena ketiga lainnya itu berharga harapan. Tak peduli apa hasil akhirnya, yang terpenting jangan sengaja menghilangkan harapan.

Ponorogo, 25 Agustus 2014

Yang ini sudah terlalu lama dipikir

Saya mengenal blog sudah sejak tahun 2007. Kalau dihitung-hitung, sampai sekarang saya sudah punya 6 blog dengan yang baru ini. Sayangnya, saya adalah orang yang gampang mengolok-olok diri sendiri, sehingga 5 blog saya terdahulu saya 'lenyapkan' dari hidup saya. Beberapa ada yang dengan sengaja saya hapus, ada juga yang saya biarkan terbengkalai begitu saja dan mengotori internet.

Yang saya maksud mengolok-olok diri sendiri di sini adalah, saya ini orangnya gampang sekali menemukan kelemahan, kejelekan, atau kecacatan karya sendiri. Setiap kali punya blog, saya akan baca ulang dari postingan baru sampai ke postingan awal beberapa waktu sekali. Tiap kali saya merasa beberapa tulisan saya itu jelek, alay, nyampah atau tidak ada artinya sama sekali, saya akan merutuki diri sendiri dan akhirnya menghapus blog itu, atau menelantarkannya.

Itu pula yang terjadi dengan puluhan cerpen dan beberapa draft novel yang pernah saya tulis dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Sudah jadi, dibaca berulang-ulang, ketemu cacatnya, buang. Sekarang, di umur 23 tahun ini, saya menyesal. Sifat labil dan insecure dengan diri sendiri seperti itu tidak membawa hasil apa-apa buat saya. Saya jadi tidak punya portofolio yang bisa dipakai untuk belajar dan mengukur perkembangan menulis saya. Sampai akhirnya saya mencari-cari alasan untuk tidak menulis lagi dalam waktu lama: tugas kuliah.

Saya baru saja lulus kuliah. Waktu masih semester 7-8, saya nyambi kerja full-time di sebuah online media besar di Indonesia. Dapat 6 bulan kerja di sana, gaji tidak ada perubahan, kontrak yang tadinya dijanjikan akan diperbarui tidak kunjung jadi nyata. Akhirnya saya jatuh bosan. Keluar dari sana, skripsi selesai. Sekarang saya sedang mencoba memulai kembali kegiatan yang sudah menjadi bagian diri saya, namun memudar karena rasa insecure yang konyol itu: writing for fun.

Karenanya, saya membuat blog ini untuk mengumpulkan potongan-potongan mimpi saya menjadi published writer/author.  Dari sini, saya ingin menapaki lagi impian masa remaja yang dibumbui puluhan teenlit, metropop dan chicklit, untuk menjadi penulis fiksi.

Mari berharap saya sudah jauh lebih dewasa sekarang. Semoga Catatan Seliweran ini tidak akan hanya jadi bagian daftar "Blog yang Pernah Saya Miliki Lalu Saya Hapus".