Sabtu, 14 November 2015

PK-46 BPI LPDP: Cerita Anak Kota Kecil Dengan Pengalaman Besar

Persiapan Keberangkatan-46, atau biasa disingkat PK-46, yang diselenggarakan oleh LPDP untuk para awardee angkatan 46 sudah berakhir satu minggu yang lalu. Sudah hampir seminggu pula saya kembali di rumah Ponorogo. Berbagai pelajaran dan kenangan dari PK-46 sudah saya letakkan dengan rapi di laci-laci benak, dan siap dibuka lagi kapanpun saya butuhkan. Beberapa di antaranya saya ingin bagikan di sini, di blog yang pembacanya cuma teman-teman kuliah dulu ini. Hehe.

***

Saya tiba di Jakarta pada 30 Oktober malam dan langsung menginap di tempat sahabat saya semasa SMP, Tita, di daerah Ragunan. Besoknya, saya pergi ke Wisma Hijau untuk kumpul-kumpul pra-PK; bertemu sapa dengan teman satu kelompok, latihan yel-yel, latihan lagu angkatan dan mars LPDP. Teman-teman satu angkatan datang dari berbagai latar belakang keilmuan dan asal-usul. Usia kami tidak seragam, bahkan ada yang sudah menjadi dekan di kampus tempatnya mengabdi. Hebatnya, beliau-beliau yang terhitung senior tidak enggan membaur dengan yang muda, berbagi ide, dan memainkan yel-yel yang bisa jadi terkesan so juvenile. Keren! Yang muda pun tidak segan bercanda dengan yang senior, dan hal ini membuat atmosfir angkatan menjadi menyenangkan. Ketika diberi arahan untuk berjoget, semua berjoget. Ketika diberi arahan untuk menyanyi, semua menyanyi.

Kebetulan ada teman satu kelompok saya yang bertahun-tahun sebelumnya sudah pernah saya stalk lewat Facebook. Namanya Mbak Ginar Santika. Kok bisa?
Dulu ketika saya baru masuk kuliah S1, program Indonesia Mengajar baru diselenggarakan. Karena saat itu saya baru masuk kuliah S1, hasrat untuk ikut program ini dan menjajal diri untuk mengajar di daerah terpencil masih tertahan. Saya ini kalau sudah ingin mendapatkan sesuatu, segala tentang sesuatu itu pasti saya cari-cari dan jadikan motivasi untuk meraihnya. Berkaitan dengan keinginan ikut Indonesia Mengajar itu, saya akhirnya meng-add akun Facebook sebagian besar Pengajar Muda Angkatan 1. Tujuannya cuma satu: SAYA KEPO. Saya ingin tahu orang yang seperti apa yang diterima sebagai Pengajar Muda, saya ingin tahu prestasi apa yang mereka pernah raih, saya ingin tahu bagaimana cara mereka berkontribusi untuk komunitas yang mereka layani; intinya saya ingin menjadikan mereka motivasi untuk menjadi lebih baik. Siapa tahu ketika saya lulus S1 nanti berkesempatan untuk ikut seleksi Indonesia Mengajar.
Waktu bertemu Mbak Ginar, rasanya saya sudah tidak asing dengan nama ini, seperti sudah pernah mengenal nama ini. Benar saja! Waktu istirahat tiba dan saya akhirnya bisa ngobrol-ngobrol santai dengan teman-teman satu kelompok, Mbak Ginar memberitahu bahwa dia adalah Pengajar Muda Angkatan 1! Allahu Akbar! What are the odds! Saya pernah stalking akun Facebook Mbak Ginar sekitar 5 tahun yang lalu! Lalu saya menanyakan kabar pengajar-pengajar muda angkatan 1 yang lain yang saya sering temui di beranda Facebook. Mungkin waktu itu saya terkesan creepy, ya, Mbak? Kenal juga enggak, tapi tahu banyak sekali tentang mereka. Hehe. Maafkeun.
Memang saya tidak ditakdirkan untuk jadi Pengajar Muda seperti yang pernah saya impikan dulu, tapi akhirnya saya dipertemukan dengan salah satu Pengajar Muda angkatan 1 yang pernah saya stalking dulu, lewat LPDP. Hehe.

Sebetulnya, kejadian itu sempat membuat saya minder. Seorang purna Pengajar Muda seperti Mbak Ginar ada di LPDP. Teman-teman lain PK-46 juga hebat-hebat. Kontribusi mereka sudah nyata untuk Indonesia, sesuai dengan apa yang diharapkan LPDP. Sedangkan saya? Ya Allaaah...belum jadi apa-apa. Saya baru lulus S1 tahun kemarin dan belum pernah bekerja di sektor yang kontributif untuk negeri ini. Saya jadi meragukan diri sendiri waktu itu. Apalagi sebagian besar dari kawan PK-46 berasal dari jurusan eksak, bukan budaya seperti saya.
Untunglaaaaah...ketika saya mencurahkan isi hati ini kepada teman sekamar saya di Wisma Hijau, Mbak Nana dan Nina, mereka menyemangati saya dan menyebutkan banyak kawan yang juga berasal dari latar belakang pendidikan budaya. Jadi tidak ada alasan bagi saya untuk merasa minder.

Selama satu minggu kemudian, kami satu angkatan mendapatkan banyak sekali pelajaran dari program Persiapan Keberangkatan ini. Kami jadi lebih mencintai tanah air dan bertekad berkontribusi untuk pembangunan bangsa sebagai "satria cendekia yang siap berkarya". Kami mendapatkan keluarga baru yang kocak-kocak, ramah-ramah, unik-unik, yang sampai sekarang masih rutin heboh bertukar cerita dan gosip di akun LINE angkatan. Sebagai seorang anak kota kecil, pengalaman ini terasa begitu besar bagi saya. Oh iya, (sebenarnya saya sedikit malu mengakuinya) saya jadi belajar berbahasa Indonesia dalam keseharian selama menjalani PK. Sebelumnya saya hampir selalu berbahasa Jawa karena kehidupan saya ya berputar di sekitar-sekitar Jawa Timur saja. Sampai-sampai supir taksi yang saya naiki di Minggu pagi tanggal 1 November bertanya, "Mbak, dari Jawa, ya? Jawa Timur?" hanya karena logat Jawa saya yang kental sekali. Hahaha.

Untuk teman-teman sesama orang Jawa Timur, sering-seringlah ikut acara nasional, bisa berupa seminar, konferensi, atau acara volunteer yang mempertemukan kalian dengan teman-teman dari seluruh daerah di Indonesia, supaya bahasa Indonesia kalian terasah secara lisan. Karena kemarin saya agak kesulitan sejujurnya (atau saya-nya saja yang kelewat ndeso).

Till the next time I write again! 

Sabtu, 17 Oktober 2015

Menyoal Teman yang "Hobinya" Merendahkan

Wah...sudah lagi sebulan sejak postingan yang terakhir. Apa kabar semuanya? Yang di belakang, mana suaranyaaaaaaa? *kemudian disetrum microphone


Akhir-akhir ini saya disibukkan dengan order terjemahan yang lumayan menggila, dan tugas-tugas pra-PK BPI LPDP yang juga menggila berkali-kali lipat. Haha. Saya masuk PK-46, by the way. Nama kami Sajayantara. Ada sedikit isu insecurity yang saya alami ketika tahu masuk PK-46. Kami satu angkatan diharuskan untuk mempunyai akun LinkedIn yang sophisticated, dengan jumlah koneksi satu angkatan minimal 100 orang, dengan total koneksi awardee LPDP minimal 200. Saya pun mengedit akun LinkedIn saya di sana-sini supaya terlihat layak. Begitu kami satu angkatan sudah saling menambahkan koneksi, saya cek profil teman-teman satu per satu. Dan...saya semakin merasa kecil, bukan apa-apa, hanyalah sebutir biji kurma di antara semangka-semangka yang segar.

Teman-teman satu angkatan datang dari beragam latar belakang, dan yang paling saya perhatikan adalah latar belakang profesional mereka. Ya Allah...ada yang masa kerjanya di instansi bergengsi sudah 10 tahun, ada yang sudah keliling dunia lewat berbagai program pertukaran belajar, ada yang sudah bekerja di sana-sini dengan track record yang ciamik. Siapalah saya ini di antara mereka? *melorot dari kursi
Alhamdulillah saya diberi kesempatan mengenal orang-orang hebat seperti mereka! :')

***

Lepas dari sekelumit cerita pra-PK, beberapa minggu yang lalu, salah seorang teman kuliah dulu menceritakan sesuatu yang membuat saya sedikit terhenyak. Teman saya ini sedang menyusun strategi untuk mendaftar BPI LPDP Periode 4, yang terakhir, tahun ini. Setelah berminggu-minggu mengobrol intens soal esai, kampus, dan trik sukses BPI LPDP, dia ini tiba-tiba menghilang. Sulit dihubungi, dia juga tidak menghubungi saya duluan. Saya curiga jangan-jangan semangatnya mengejar beasiswa sudah pudar.

Beberapa hari kemudian setelah itu, dia kembali menghubungi saya. Dan benar saja, dia sempat kehilangan motivasi kuliah S2 gara-gara omongan seorang kawannya. Inti dari omongan kawan teman saya tersebut adalah bahwa jurusan kami (saya dan teman saya) ini tidak ada gunanya, tidak signifikan, dan tidak worth-pursuing. Saya kaget setengah mati! Ada, ya, teman yang begitu itu selain di sinetron dan FTV? Di saat temannya menceritakan impian beasiswa S2 ke luar negeri, dia justru mematahkan semangat dengan bilang jurusan yang diambilnya TIDAK BERGUNA. Lalu teman saya tadi lanjut menceritakan bahwa si kawan ini sebetulnya tidak terlalu bisa bahasa Inggris, malahan terkesan sok bisa. Saya langsung paham, "Oh."
Memang ada saja tipe orang yang seperti ini. Tidak terlalu bisa, tidak menguasai sesuatu, lalu iri melihat orang lain yang bisa dan mempunyai cita-cita besar, akhirnya berusaha menjatuhkan orang lain tersebut untuk menutupi insecurity-nya sendiri. Kejam? Tega? Gila? Memang. Orang seperti ini harusnya diracun semprotan nyamuk!

Saya lantas sedikit memarahi teman saya ini. Bagaimana dia bisa tangguh berjuang mendapatkan beasiswa, dan menyelesaikan kuliahnya nanti jika diterima, kalau sedikit terjangan angin dari teman yang iri hati begitu sudah membuatnya putus asa? Sudah mematahkan motivasinya? "Kalau jurusan kita tidak signifikan, mana mungkin kakak-kakak tingkat kita yang konsentrasinya Sastra Inggris juga bisa dapat beasiswa? Mereka dapat beasiswa karena pemberi beasiswa melihat signifikansi risetnya. LPDP memberi saya dan teman-teman Sastra Inggris lain beasiswa karena percaya kami bisa membawa perubahan yang baik untuk negara, lewat jurusan ini,", begitu kurang lebih ucapan saya kepadanya. Dia kemudian sadar bahwa tidak seharusnya satu mulut pedas seorang ignorant mematahkan semangatnya, dan kembali berjuang sampai hari menjelang deadline BPI LPDP Periode 4 ini (deadline 19 Oktober 2015).

Kita semua pasti sudah diajari waktu SD, dilarang memilih-milih teman. Tapi kalau bertemu teman yang senangnya merendahkan orang lain seperti kawan teman saya itu, dorong saja ke Sungai Ciliwung!     

Senin, 14 September 2015

Cerita Berburu Beasiswa BPI LPDP: Part III


Tanggal 9 September 2015 malam sampai 10 September 2015 dini hari, saya tidak bisa tidur. Hampir setiap dua jam sekali saya terbangun untuk mengecek email dan website LPDP. Saya juga mengecek halaman Facebook LPDP, siapa tahu ada pengumuman juga di sana. Sampai matahari terbit, sudah tak terhitung berapa kali saya mengecek email dan website LPDP. Sampai pada jam 10 pagi, saya menyerah. Ya sudahlah, mungkin pengumumannya nanti malam. Mau dicek bolak-balik juga tidak akan membuahkan hasil.

Kemudian, jam satu siang Ibu pulang mengajar, "Sudah keluar pengumumannya, Nduk?" Beliau bertanya dengan tergopoh-gopoh.
"Enggak tahu, Ma. Dari tadi pagi aku cek belum keluar terus."
Lalu, Nina, adek paling kecil yang saat itu sedang memakai laptop saya, saya suruh minggir sebentar. Saya langsung membuka inbox akun Gmail saya. Debar jantung saya menjadi tak beraturan ketika melihat ada subyek pengirim 'LPDP Beasiswa'. Sambil menyerukan, "Bismillahirrohmanirrahim!", saya mengklik pesan tersebut. Saya langsung mencari tulisan apapun yang dibesarkan, tanpa membaca pembukaan di atasnya. Tulisan LULUS langsung membuat jantung saya berhenti sepersekian detik. Kemudian saya berdiri, berlari memeluk Ibu sambil berteriak-teriak dalam tangis bahagia, "Ma, lulus, Ma! Lulus! Alhamdulillaaah!" Saat itu ada Bulik juga di rumah, beliau pun ikut menangis gembira.

Ya Allah...Alhamdulillaaah! Saya percaya doa yang baik dan penuh kesungguhan tidak akan pernah mental. Rejeki yang super dari Allah SWT yang selalu super!

***

Berikut tips yang ingin saya bagi untuk teman-teman yang sedang mengejar beasiswa BPI LPDP Magister dan Doktoral juga:
1. Mulai dari penyusunan esai, kita harus sudah mempersiapkan topik dan bahasan disertasi yang akan kita persembahkan untuk pembangunan Indonesia, karena beasiswa LPDP ini latar belakangnya adalah untuk membangun Indonesia Emas di tahun 2045.
2. Dasarkan melamar beasiswa ini karena kita mencintai riset yang pernah dan akan kita lakukan. Tujuan riset kita harus konkrit, memberikan keuntungan bagi bangsa, dan efek yang direncanakan bisa diwujudkan lewat kegiatan yang nyata.
3. Pesan dari Mbak Zia, kurang-kurangi personal benefits di tiap esai kita. Tekankan bahwa semua yang kita usahakan dalam proses belajar nanti adalah untuk Indonesia, bukan keunggulan diri kita sendiri.
4. Pesan dari Fida, tunjukkan kerendahan hati dalam tiap esai kita.
5. Perbanyak membaca artikel dan jurnal ilmiah, supaya nanti saat wawancara kita punya back-up dalam menyusun argumen pertanyaan-pertanyaan substantif mengenai riset kita. Seperti saya kemarin, ketika ditanya soal mengapa saya menganggap maternity shot sebagai bentuk dari eksploitasi seksual perempuan, saya mengambil pendapat Dewi Candraningrum yang dia tulis di blog Jurnal Perempuan mengenai rahim wanita yang kini seolah menjadi milik publik, untuk mendukung argumen saya. Sadari bahwa kita semua bukan pemikir tunggal, karena tiap pemikiran selalu terinspirasi dari pemikiran lain yang sudah ada sebelumnya. Intinya, rendahkan hati.
6. Saat wawancara, pastikan kita mengingat betul isi esai-esai kita supaya jawaban kita sinkron dengan kontennya. Pewawancara akan tahu apabila esai yang kita buat tidak tulus atau malah dibuatkan oleh orang lain.
7. Pastikan kita teguh pendirian. Pewawancara akan mencoba melihat seberapa ngoyo kita berusaha mempertahankan argumen kita, tentunya dengan tata cara yang benar dan pemahaman yang sesuai.
8. Saat mengikuti on-the-spot essay writing, pastikan kita tidak membuang-buang waktu di paragraf pembukaan. Beri porsi yang seimbang untuk tiap bagian; pembukaan, isi, penutup. Hindari berusaha memberi kesan bahwa kita pintar, because trying hard hardly turns out good.
9. Saat menjalankan LGD, hindari berusaha terlihat menonjol dengan berbicara terlalu banyak dan menguasai jalannya diskusi. Pikirkan pendapat yang solutif (kata Mbak Zia), sampaikan dengan seperlunya dan hindari 'menerjang' pendapat anggota lain. Persilakan yang lain untuk berpendapat, tanyakan apa pendapat mereka, karena LGD bukanlah your one-man show.
10. Berdoa, berdoa, dan berdoa. Pilih waktu-waktu yang mustajab untuk berdoa. Perhatikan adab dalam berdoa. Berusaha tanpa doa itu sombong, berdoa tanpa usaha itu bodoh. Tuhan tak pernah ingkar janji.

Terima kasih banyak sudah membaca sampai Part III! Semoga sukses dan keberkahan menyertai kita semua!

Cerita Berburu Beasiswa BPI LPDP: Part II

Setelah mendapatkan pengumuman lolos seleksi administrasi, saya langsung menghubungi sahabat yang tinggal di Surabaya. Berniat menumpang, ceritanya. Saya sudah banyak merepotkan sahabat yang namanya Kustin ini dari zaman kuliah. Haha. Bahkan saat sedang mengikuti teacher training dulu saya juga menumpang di kos dia (I kinda owe you a lot!). Saya datang di Surabaya tanggal 25 Agustus 2015 jam 2 siang. Malam harinya, saya kembali merepotkan Kustin untuk mencari-cari lokasi seleksi substantif yaitu Gedung Keuangan Negara, Jl. Indrapura No. 5, Surabaya. Ternyata lokasinya cukup jauh dari tempat kos Kustin yang berada di Jl. Mayjen Sungkono. Saya langsung menyiapkan mental untuk berangkat pagi-pagi sekali esok harinya.

Jam setengah 7 pagi saya sudah berada di tengah padatnya jalanan pagi Surabaya demi mengejar cita-cita. Anehnya, saat malam sebelumnya saya masih mencari-cari alamat GKN Surabaya, saya merasa jaraknya sangat jauh dari tempat kos Kustin. Namun, begitu pagi saya berangkat dengan yakin, ternyata tidak sampai 15 menit kemudian saya sudah sampai di lokasi seleksi.

Terlalu pagi? Jelas. Untungnya sudah ada beberapa teman seperjuangan yang tiba di tempat parkir sehingga saya tak perlu mencari-cari ruangan seleksi sendirian. Ruang berkumpulnya peserta sekaligus tempat verifikasi dokumen ada di lantai 7, ruang pengerjaan esai ada di lantai 3, dan ruang diskusi grup ada di lantai 2. Karena masih terlalu pagi dan acara baru dimulai jam 8 pagi, akhirnya saya sempatkan tidur lagi di kursi peserta. Haha. Mumpung masih sepi, begitu pikir saya. Begitu saya bangun, peserta sudah banyak, dan saya gelagapan karena kursi-kursi di sebelah dan depan saya sudah berpenghuni. Ups!

Saya mendapatkan jadwal verifikasi dokumen jam 10 pagi dan wawancara pada jam setengah 2 siang. Di sana saya bertemu dengan Mas Irul, kakak tingkat saya di kampus dulu. Dia mendapatkan jadwal wawancara lebih dulu daripada saya, akhirnya saya menunggu sendirian lagi. Saat proses verifikasi, saya hampir mendapat masalah karena surat referensi dari dosen yang saya serahkan pada panitia merupakan hasil scan karena saya mendapatkannya via email. Panitia kemudian menyuruh saya untuk menunjukkan bukti korespondensi dengan dosen tersebut yang valid dari history email saya. Saya langsung membuka ponsel saya, dan mencari arsip email itu di inbox akun Gmail. Rasa deg-degan pun bertambah karena sinyal T*lk*ms*l di dalam gedung tersebut lemot sekali sampai akhirnya panitia menyuruh saya mundur dulu untuk membiarkan peserta lain memulai proses verifikasi. Akhirnya, arsip email tersebut bisa diakses! Alhamdulillah!

Jam 1 siang saya sudah mengantri di kursi antrian wawancara. Tidak lama kemudian (padahal rasanya seperti satu minggu menunggu), nama saya dipanggil untuk masuk ke ruang wawancara. Di ruangan tersebut ada 9 meja pewawancara, kalau tidak salah, dan setiap meja ditempati oleh 3 pewawancara. Saya mendapatkan kelompok wawancara nomor 4, yang tempatnya tepat di ujung ruangan, lurus dengan pintu masuknya. Setelah menitipkan tas pada panitia (ya, tas tidak diperbolehkan di bawa ke kursi wawancara), saya berjalan dengan mantap ke meja pewawancara saya. Ada dua orang ibu, satu psikolog dan satu lagi dosen Sastra Inggris dari UNY, dan satu orang bapak yang saya tidak tahu apa profesinya (yang jelas posisinya dalam wawancara ini sebagai pakar). Wawancara dimulai dengan beliau-beliau mempersilakan saya memperkenalkan diri. Setelah itu, ibu dosen dari UNY menanyakan perihal pilihan kampus saya, UCD Irlandia. Si bapak mengomentari "Why? It's sooo far and very very cold there!" Saya mengiyakan dan ikut tertawa, kemudian menjelaskan bahwa setelah melakukan internet research, saya meyakini bahwa semua mata kuliah yang ditawarkan oleh kampus tersebut untuk jurusan Gender, Sexuality, and Culture, adalah yang paling pas untuk mendukung disertasi saya nantinya.
Kemudian pembicaraan beralih ke topik disertasi saya. Si ibu dosen menanyakan mengapa saya memilih topik tersebut. Lalu si bapak menyambung, "What is the benefit of your dissertation for this country?" Lalu saya menjelaskan jawaban saya panjang lebar dengan mantap. Lalu si bapak bertanya lagi, "As you know that there might be some cons regarding your research from religious people in this country, how are you going to handle that?" Aduh! Saya sama sekali tidak menduga pertanyaan ini. Saya sempat blank beberapa saat. Sambil mengulur waktu berpikir saya, saya mengulang lagi statement saya mengenai keuntungan disertasi saya bagi negara ini, lalu menutup argumen dengan, "I'm aware that pros and cons are inevitable and that would be my challenge for this dissertation, but challenges do not stop me."
Banyak pertanyaan lain yang saya tidak ingat dari kedua pakar bidang bahasa, seni, dan budaya tersebut. Ketika tiba giliran sesi dengan ibu psikolog, beliau menyanyakan tentang masa kecil saya yang tertulis di esai 'Sukses Terbesarku'. Air mata tidak dapat saya bendung pada sesi ini. Pembicaraan tentang orang tua selalu membuat hati ini menjadi lembek dan kantung air mata menjadi manja. Lalu beliau menanyakan mengenai bagaimana saya bisa mendapatkan IPK 3,59 dan mendapatkan gelar Best Graduate dari program studi saya. Pertanyaan terakhir dari beliau adalah apa yang akan saya lakukan seandainya tidak lolos seleksi LPDP kali ini.

Setelah acara wawancara selesai, saya langsung pulang ke tempat kos Kustin karena jadwal LGD dan penulisan esai saya masih keesokan harinya.

***

Pada tanggal 27 Agustus 2015, jadwal tes penulisan esai untuk kelompok saya adalah pukul 11 dan LGD pada pukul 2 siang. Hari itu tidak berjalan mulus bagi saya. Karena lupa belum membeli papan jalan untuk penulisan esai, saya harus pelan-pelan mengendarai motor sambil mencari tempat fotokopi atau toko alat tulis yang sekiranya menjual papan jalan. Padahal, jam di pergelangan tangan sudah menunjukkan pukul 10.35. Belum lagi masih harus menghadapi macetnya kota Surabaya di siang hari. Ya Allah!

Saya sampai di parkiran GKN pukul 10.50. Saya tahu waktu sepuluh menit tidak akan cukup bagi saya untuk naik ke lantai tujuh lewat tangga. Namun ketika masuk gedung, Ya Allah...antrian di depan lift di tiap lantai membuat putus asa dalam sekejap. Baiklah! Saya harus ngebut naik tangga kalau begitu caranya. Karena saya ini orangnya jarang sekali (JARANG SEKALI) berolahraga, napas pun habis begitu sampai lantai tujuh, ditambah kedua lutut rasanya jadi cair. Sambil mengatur napas dan langkah kaki, saya menuju meja verifikasi dan melaporkan keterlambatan. Kemudian saya harus turun lagi ke lantai 3 untuk mengerjakan esai. Ya Allah! Rasanya kaki ini mau lepas!
Begitu sudah duduk di dalam ruangan, saya masih sibuk mengatur napas sambil memegang kertas soal dan lembar jawaban. Tanpa pikir panjang, saya memilih topik nomor dua yaitu "konflik antar umat beragama karena pemimpin golongan tidak bijak dalam berkomunikasi", lalu dengan cepat menyusun kerangka argumen di kepala. Mengingat waktu yang diberikan hanya setengah jam, saya memutuskan untuk membuat esai pendek yang isinya satu paragraf pembukaan, satu paragraf isi, satu paragraf solusi, dan satu paragraf kesimpulan. Saya melihat tidak ada kesempatan untuk berindah-indah kata dan membuat esai panjang yang mengesankan, jadi langsung ke intinya saja. Sempat melirik-lirik teman di samping kanan dan kiri, Ya Allah...esainya panjang-panjang! Dua halaman lembar jawaban mereka isi. Sedangkan saya, satu halaman saja tidak penuh. Agak pesimis juga (siapa suruh melirik punya orang lain!) waktu keluar ruangan.

Waktu menunggu antara selesainya on-the-spot essay writing dan dimulainya LGD saya gunakan untuk tidur lagi (saya suka sekali tidur, hahaha) di kursi tunggu peserta di lantai tujuh. Alhamdulillah saya tidak terlambat lagi untuk LGD. Hehe. Begitu sudah di dalam ruangan diskusi, seorang bapak psikolog menerangkan peraturan proses diskusi grup ini. Ada tujuh orang dalam kelompok kami, termasuk saya. Topik yang kami diskusikan adalah prosedur penyitaan kekayaan dan aset gembong narkoba. Secara keseluruhan, diskusi berjalan mulus, meskipun Mas Moderator (yang mengajukan diri) malah mendapatkan porsi berbicara paling banyak, dan ada seorang anggota yang berbicaranya sedikit sekali namun lebih banyak tersenyum mengiyakan yang lain.

Cerita beasiswa ini masih berlanjut ke Part III, tentang tips-tips esai dan seleksi substantif. Thank you! 

Minggu, 13 September 2015

Cerita Berburu Beasiswa BPI LPDP: Part I

Disclaimer: Cerita ini saya tulis bukan untuk pamer atau menyombongkan diri. Kabar saya menembus BPI LPDP sudah tersebar kepada teman-teman sejawat, dan beberapa di antaranya mengontak saya untuk membagi tips dan cerita soal beasiswa dari Kementerian Keuangan ini. Supaya memudahkan teman-teman yang kesulitan, atau mungkin sungkan, menghubungi karena tidak akrab, maka saya membaginya di blog yang penuh dengan debu dan usang ini.

Salah satu teman seperjuangan saat kuliah S1 dulu, sebut saja Mbak Nganjuk (orangnya pemalu sekali dan kemungkinan akan protes kalau nama lengkapnya saya cantumkan di sini haha), sudah terlebih dulu berhasil menembus BPI LPDP tahun 2014 kemarin, dan sekarang sudah hampir selesai menempuh pendidikan Magister di Lancaster, Inggris. Bisa dibilang dia adalah pelopor penerima beasiswa S2 ke luar negeri di angkatan 2010 dari prodi Bahasa dan Sastra Inggris, Universitas Negeri Malang. Tentu saja kabar gembira ini menginspirasi saya dan teman-teman sejawat lain yang memiliki cita-cita kuliah S2 ke luar negeri. Saya sering menghubunginya lewat BBM untuk bertanya-tanya soal beasiswa LPDP dan meminta dia menceritakan pengalaman hidup di luar negeri. Karena kami sama-sama berasal dari kota kecil, saya pikir pengalaman yang dia bagikan akan sangat berguna apabila suatu hari nanti saya juga berhasil mengikuti jejaknya berkuliah ke luar negeri. Untunglah Mbak Nganjuk ini jauh dari sifat pelit, meskipun sangat pemalu.

Dari mulai akhir 2014 kemarin, saya sudah mulai mempersiapkan keperluan materi dan mental untuk mengejar beasiswa kuliah S2 ke luar negeri. Target pertama saya adalah beasiswa Fulbright AMINEF karena saya ingin sekali berkuliah S2 ke Amerika Serikat, dan beasiswa dari lembaga tersebut kabarnya adalah yang paling prestisius di Indonesia saat ini. Ditambah lagi, biaya TOEFL iBT dan tes GRE nantinya juga ditanggung oleh mereka. Menggiurkan sekali, bukan?
Sayang seribu kali sayang, pada hari saya semestinya mendaftar tes TOEFL ITP di Balai Bahasa Universitas Negeri Malang, ada halangan longsor di jalur Ponorogo-Trenggalek-Tulungagung-Blitar-Malang yang biasa saya lewati. Gara-gara halangan ini, perkiraan waktu yang sudah saya perkirakan untuk bisa mengirim dokumen sesuai deadline dari Fulbright, tidak terpenuhi. Saya sempat menangis karena saat itu kelengkapan yang belum terpenuhi hanya tinggal sertifikat TOEFL saja. Akhirnya, haluan saya belokkan ke BPI LPDP.

Saya mulai mencari-cari informasi mengenai kelengkapan yang diperlukan untuk melamar BPI LPDP kira-kira bulan Januari kemarin. Saya browse blog-blog para awardee LPDP dengan maksud ingin mendapatkan inspirasi dan contoh tiga esai terpenting dari bagian aplikasi BPI LPDP; esai kontribusiku untuk Indonesia, esai sukses terbesarku, dan esai rencana studi. Saya ingat mendapatkan contoh esai milik Mbak Anindyajati, yang, kalau tidak salah, adalah seorang Sarjana Farmasi. Mengambil konsep dari tiga esai milik mbak tersebut, saya mulai menyusun kerangka milik sendiri (terima kasih banyak, Mbak Anindyajati!). Setelah itu, saya mengunduh banyak artikel ilmiah dan jurnal-jurnal kajian gender untuk dipelajari guna mendukung theoretical framework untuk disertasi nanti. Bahan disertasi dari study objective untuk Fulbright kemudian saya ekstrak untuk esai-esai aplikasi BPI LPDP.

Kabar gembira kembali datang dari teman seangkatan namun beda prodi, Afida Husniya, dan kakak tingkat yang sudah keliling dunia, Ziadatul Hikmiah, yang juga berhasil menembus beasiswa LPDP ini. Kedua orang tersebut berjasa sekali karena sudah mau meluangkan waktu mereka untuk proofread esai-esai saya dan juga membagi esai mereka untuk dijadikan acuan (thank you very much!). Beruntunglah saya karena mempunyai teman-teman yang tidak tinggi hati dan mau berbagi ilmu seperti Mbak Nganjuk, Fida dan Mbak Zia. Alhamdulillah.

Selama proses melengkapi kebutuhan administrasi beasiswa, saya terus memaksa diri untuk membaca banyak jurnal dan artikel kajian gender untuk mencegah analytical thinking otak ini berkarat. Saya ingin mempersiapkan diri untuk kuliah S2 sedini mungkin supaya nanti saat wawancara LPDP saya benar-benar siap menanggapi pertanyaan substantif dari para juri mengenai kerangka disertasi saya.

Jangan dikira mempersiapkan kelengkapan administrasi beasiswa itu tidak ribet! Yah, paling tidak pada kasus saya. Hehe. E-KTP saya, entah bagaimana ceritanya, tidak pernah tercetak padahal saya sudah melakukan perekaman di perpus kampus sejak dahulu kala. Akhirnya saya harus meminta surat keterangan tanda penduduk sementara karena blanko E-KTP di kecamatan tempat tinggal habis. Setelah selesai meminta surat keterangan ke kelurahan, sesampainya di kecamatan saya mendapatkan masalah karena nama saya pada KK disingkat 'Masithoh Azzahro L.'. Ketika kembali ke rumah dan meminta Bapak mengurus pembaruan KK, beliau bilang KK kami sudah lama hilang. Akhirnya Bapak, di sela-sela kesibukan mengajarnya, membereskan urusan pembuatan KK baru, dan semua proses itu memakan waktu satu bulan (sial, ya?). Setelah selesai mengurus E-KTP, saya melanjutkan ke proses mencari surat keterangan sehat, surat keterangan bebas narkoba, dan surat keterangan bebas TBC. Proses ini cukup lancar, meskipun memakan biaya yang tidak sedikit (saya baru tahu kalau tes urin dan tes darah itu mahal!). Setelah semua terpenuhi, saya mengunggah dokumen-dokumen yang diperlukan ke web pendaftaran LPDP. Setelah selesai mengunggah, saya tidak langsung submit data. Saya menunda hingga hari terakhir pengumpulan, yaitu 24 Juli 2015, karena takut ada yang salah pada data saya dan tidak bisa diedit lagi. Pada pagi hari itu, akhirnya saya berani mengklik tombol 'SUBMIT'. Alhamdulillah tidak mengalami kendala seperti teman-teman lain yang submit pada hari terakhir. Allah Maha Besar!


Menunggu, menunggu, dan menunggu. Pada tanggal 7 Agustus 2015 jam 8 pagi, saya membuka email. Alhamdulillah, dinyatakan lulus proses administrasi dan dijadwalkan mengikuti proses seleksi substantif (wawancara, LGD, dan on-the-spot essay writing) pada 26-28 Agustus 2015.

Cerita tentang seleksi substantif berlanjut ke Part II, ya! Thank you!

Permintaan Maaf dan Sekilas Cerita Setahun Terakhir

Hmm. Oke. Saya tidak percaya usia postingan terakhir blog ini sudah hampir satu tahun sekarang.

Dari dulu saya memang inkonsisten dalam urusan memelihara blog. Jadi, saya mau minta maaf karena telah mengabaikan ruang tuang pikiran ini. Kepada siapa permintaan maaf ini ditujukan? Kepada dunia maya, karena dunia mereka sudah dikotori oleh blog yang sama sekali tidak produktif ini. Haha.

Selama hampir satu tahun terakhir ini, banyak kejadian yang membuat saya lebih memahami dan mau mengakui kelemahan diri sendiri. Dari banyak pengalaman tersebut, saya belajar bahwa self-talk terbukti bisa membuat kita lebih memahami apa mau diri dan memudahkan pengambilan keputusan.

Setelah lulus S1 di bulan September tahun lalu dan keluar dari tempat kerja lama yang bergerak di bidang online media, saya melamar kerja di salah satu bimbingan belajar bahasa Inggris yang sangat punya nama di Indonesia. Setelah melalui beberapa proses seleksi yang mengharuskan bolak-balik Malang-Surabaya, saya akhirnya diterima untuk menjalani training di Surabaya selama dua minggu.

Setelah training selesai, ada ganjalan yang membuat saya harus menunggu lama sebelum bisa mulai mengajar di lembaga tersebut. Ternyata, rejeki diterima kerja di lembaga tersebut hanya numpang lewat di portfolio kehidupan duniawi saya. Karena satu dan lain hal, seorang perempuan dari Ponorogo ini batal mengajar di lembaga tersebut.

Rejeki yang hanya mampir sebentar ini membuat saya berkaca pada diri sendiri. Apa kesalahan yang saya lakukan sampai rejeki ini ditarik lagi oleh Allah SWT? Dan saya temukan jawabannya. Saat sedang menjalani seleksi masuk lembaga itu dulu, saya memang bersikap jumawa. Beberapa teman sudah ada yang mencoba seleksi tersebut dan sebagian besar dari mereka gagal. Jadi ketika saya dinyatakan lolos seleksi dan berhak mengikuti teacher training lembaga tersebut, ada perasaan sombong yang menyelinap di hati. Akhirnya, perasaan tersebut membuat saya sedikit meremehkan proses training-nya dan malah membuat kerepotan menjalankan tugas-tugas dan jadwal training.

Karena sudah menyadari letak kesalahan, akhirnya saya bisa mengikhlaskan kesempatan emas mengajar di lembaga bergengsi itupun melayang. Saya berjanji kepada diri sendiri untuk berusaha menjadi lebih rendah hati, dengan memahami bahwa semua hal baik yang saya dapatkan digerakkan oleh Allah SWT, sama sekali bukan karena kualitas saya yang unggul sebagai manusia. Semua terjadi atas ridho-Nya, jadi seunggul apapun saya jadi orang, kalau Allah SWT tidak ridho, semua kebaikan hidup akan hilang dalam sekejap mata. Intinya, jangan kufur nikmat.

Kemudian saya beberapa kali mencoba melamar kerja di tempat lain, dan lagi-lagi belum rejeki. Sambil menunggu dan terus mengusahakan rejeki pekerjaan itu datang, saya telateni ikut agensi terjemahan milik seorang teman kuliah dulu. Dari sana saya mendapatkan pundi-pundi rupiah yang bisa digunakan untuk membeli keinginan-keinginan pribadi tanpa harus minta orang tua. Saya di Malang tinggal bersama Kakek-Nenek, jadi biaya hidup sehari-hari tidak terlalu menjadi soal.

Saya masih belum bisa membaca rencana Allah SWT tentang mengapa saya tidak kunjung mendapatkan pekerjaan full time setelah lulus kuliah, hingga Idul Fitri 2015 kemarin keluarga mendapatkan cobaan. Kondisi Kakek dan Nenek menurun drastis, sehingga harus diboyong ke kampung halaman saya, Ponorogo, supaya Ibu dan Bulik bisa mengurus beliau berdua dengan intensif. Saya pun akhirnya ikut pulang ke Ponorogo untuk menetap di sana guna membantu mengurus rumah selama Kakek dan Nenek bergantian dirawat di rumah sakit. Mbak yang biasa membantu Ibu di rumah, entah kebetulan atau tidak, meminta berhenti kerja di saat Kakek harus menjalani operasi prostat. Saya tekadkan hati untuk ikhlas tinggal di Ponorogo lagi dan melupakan target jangka pendek untuk bekerja full time di Malang demi keluarga.

Karena tujuan saya setelah lulus S1 adalah segera kuliah S2, selama di Ponorogo saya betul-betul memanfaatkan waktu dan tenaga untuk mengejar beasiswa. Wira-wiri ke kantor kelurahan, kecamatan dan RSUD saya usahakan untuk memenuhi kelengkapan mendapatkan beasiswa. Beberapa kali juga harus bolak-balik Malang untuk tes TOEFL dan mengambil sertifikatnya. Setelah gagal mendaftar Fulbright karena satu dan lain hal, akhirnya saya melamar beasiswa LPDP periode 3 tahun 2015 ini.

Alhamdulillah, ternyata rejeki saya selepas S1 memang bukan pekerjaan full time, melainkan beasiswa kuliah Magister Luar Negeri dari LPDP. Untuk postingan selanjutnya, saya ingin bercerita tentang cerita berburu LPDP dan berbagi beberapa tips soal beasiswa yang dilabeli 'super baik' oleh para awardee-nya ini.

Terima kasih sudah membaca postingan super panjang ini!