Sabtu, 25 Februari 2017

Kegagalan Aktivis Cinta Diam-Diam

Saya percaya bahwa manusia ditakdirkan untuk jatuh cinta, dalam ranah romantis, beberapa kali selama hidupnya. Meskipun sebutan the love of my life hanya akan berlaku untuk satu orang, namun episode jatuh cinta yang hebat bisa terjadi bukan hanya pada satu orang saja. Jatuh cinta yang hebat di sini biasanya melibatkan rasa berdebar di dada yang sangat sukar diredam, telapak tangan dan kaki yang selalu saja terasa dingin setiap kali harus berhadapan dengan the object of affection, dan kondisi sulit tidur akut yang mengakibatkan tubuh letih lesu meskipun hati sedang hingar-bingar. Ketika episode jatuh cinta yang seperti ini sedang diputarkan Tuhan untuk kita, semua lagu yang bersajak indah merayu tiba-tiba menjadi sangat relatable, dan kita tidak perlu menghadap langit sambil menunggu gerimis dulu untuk melihat pelangi.

Beberapa kasus jatuh cinta tidak selalu berakhir dengan bersatunya fulandari dan fulandanu. Bisa jadi karena fulandari yang merasa gengsi untuk mengutarakannya karena merasa fulandanu lah yang seharusnya memulai, atau karena fulandanu yang lelah menunggu fulandari menyambut perasaannya. Meskipun pada akhirnya tidak terjadi apapun di antara mereka berdua, kemudian musim berganti sampai mereka berdua akhirnya menjadi asing terhadap satu sama lain, bekas debaran jantung yang dahsyat sampai membuat lutut lemas itu akan tetap tinggal di tempat yang sama selamanya. Seringnya sengaja dilupa, namun sesekali dia akan berhasil berjingkat-jingkat menyusup ke dalam hati dan memicu kalimat ini, "Ah, iya. Dia."

Kalau dihitung-hitung, ada lima episode jatuh cinta terdahsyat yang pernah saya alami. Dua di antaranya tidak masuk kategori unrequited love dan terjadi atas dasar prinsip, "It is nice to be wanted." Namanya juga hati, kalau ada yang menawarkan tempat bersandar dan ternyata nyaman, ya, akhirnya menyerah. Sedangkan dua cerita lain yang tidak pernah diungkap kepada the object of affection terjadi karena adanya kekuatan sparks and chemistry yang saya rasakan pada mereka, yang lantas diperparah dengan kekaguman yang pelan-pelan menggunung.

Seharusnya ada tiga episode yang bisa masuk ke dalam kategori unrequited love, sampai beberapa minggu yang lalu Tuhan akhirnya memutuskan untuk mengacaukan pola cerita cinta di kehidupan saya. Dari sini lah kegelisahan ini muncul. Saya yang tadinya adalah self-proclaimed pro at handling hidden feelings mendadak kehilangan arah, tidak tahu harus bagaimana mengelola letupan-letupan familiar yang anehnya sekarang terasa baru. Dalam dua episode cinta diam-diam dulu, saya berhasil keluar dari 'medan perang' dengan hati yang utuh. Bahkan sampai sekarang saya mensyukuri kepengecutan saya waktu itu, dan dengan ikhlas mengakuinya sebagai tabiat pemuja rahasia.

Siapa yang menduga dua kali pernah sukses mengendalikan cinta diam-diam ternyata menjadi tidak berguna ketika akhirnya gayung saya justru bersambut? Apakah saya kesal karena gayungnya bersambut? Tidak juga. Apakah saya lebih memilih gayung ini selamanya mengapung-apung bebas di perairan unrequited love, yang anehnya sedikit saya banggakan? Tidak juga. Apakah saya tidak bersyukur karena lelaki yang bertahun-tahun hanya saya amati punggungnya dari jauh, sekarang mungkin sedang tersenyum ge-er membaca ceracau saya kali ini? Tentu saja saya bersyukur. Masalahnya bukan lah pertanyaan-pertanyaan yang saya sebutkan di atas. Keahlian saya bertahan mencintai dalam diam kini jadi seperti payung yang diterpa hujan deras, lalu patah rangkanya dan terbang terbawa angin. Saya menjadi pemuja rahasia yang gagal di depan lelaki ini. Kemampuan saya dalam mengendalikan letupan-letupan romantis lenyap seketika gara-gara dia. Saya meracau tak terkendali dimana-mana dan kepada siapa saja tentang dia. Padahal ketika kami bicara berdua, yang kami obrolkan justru keseharian kami, sembari saya menahan-nahan jantung yang rasanya mau melompat keluar lewat tenggorokan.

Sekian waktu hanya menyapanya dalam angan membuat saya masih meraba-raba bagaimana sebaiknya berkasih dengan lelaki ini; yang datangnya saja mendadak, seperti melompat keluar dari mesin waktu yang bertanggal enam tahun yang lalu; yang raganya jauh namun hawanya sedekat nadi.

Sabtu, 18 Februari 2017

Kau Adalah Bagaimana Tuhan Mencintaiku

Lagunya baru saja usai. Namun air mataku sudah kering, dan mataku sudah kebas. Dada masih nyeri, meski sekuat apapun aku mempertemukan kedua pasang kelopak mataku, tidak ada lagi air yang keluar. Tenggorokan juga masih terasa dihunus sembilu, meski sedalam apapun aku merogoh, tidak ada lagi yang bisa kutemukan.

Untuk pertama kalinya setelah sekian ribu jam, aku, kosong.

Lantas ku memutar lagu yang sama untuk kesekian ratus kalinya. Entah untuk alasan apa, aku ingin bisa menangis. Kau tahu betapa menyebalkan merasakan sakit namun sudah kehabisan daya untuk menangis? Setidaknya menangis mengalihkan nyeri dan perih yang menjalar; mekanisme pertahanan manusiawi yang paling dasar. Setidaknya dengan menangis, berarti kau tidak kosong. Kau masih merasa.

Lalu-lalang manusia berpakaian kelabu masih asyik, menawarkan elegi yang kutahu sengaja meledekku. Beberapa memakai topi, beberapa bermantel tebal, dan beberapa bersarung tangan kulit sapi. Duniaku dan dunia mereka hanya terhalang dua lapis kaca lebar ini. Seorang wanita menjatuhkan sarung tangannya tepat di depanku, warnanya kelabu. Kau harus tahu bagaimana aku mendeskripsikan kelabu. Kelabu bukan hitam. Kelabu bukan abu-abu. Kelabu bukan sekadar gelap, karena gelap berarti ketiadaan terang. Kelabu adalah kegagalanku menemukan rupa. Sarung tangan wanita tadi, kelabu yang tiba-tiba menonjok tenggorokanku. Sakit. Namun tetap gagal membuatku menangis.

Kemudian kulihat sekelebat punggung yang nampak familiar. Punggung itu membelakangiku di seberang jalan. Tulang bahunya terangkat ketika dia memasukkan tangan ke dalam saku celananya. Rahangnya sekilas menyapa ketika berpaling. Dia masih berdiri di sana. Aku berusaha membuat sketsa wajah di dalam kepalaku dari punggung yang familiar itu. Lalu muncul sensasi yang sangat kukenal; seperti isi dadamu turun ke perut lantas mulas. Ketika punggung itu berbalik dan sketsa di kepalaku bercermin di wajahnya, rasa mulas itu menjadi-jadi. Kubuang muka, mencoba membuat sketsa wajah di kepalaku berhenti bercermin di wajah sekelebat punggung tadi.

Bel pintu di samping kaca berdenting. Angin dari luar menyapa tengkuk, hangat, seolah lupa bahwa seharusnya dia bekerja sama dengan baik dengan musim bulan Februari. Rasa mulas masih menguasai sekujur. Perlahan tapi pasti, telapak kakiku berkeringat dingin, terjebak di dalam sepatu sebetulnya longgar-longgar saja. Rasa mulas kemudian ditemani dengan deru jantung yang tak beraturan. Nyaris kukira ada sesuatu yang salah dengan beberapa teguk kopi labu dari cangkir kertas ini. Pipiku menghangat, dipaksa tengkuk. Terus aku terpekur, berusaha menolak sensasi yang menjalari sekujur; berharap dengan diam tak bergeming akan mengembalikan deru jantung menjadi teratur.

Sejurus, sepasang kaki berdiri di samping mejaku. Hangat di tengkuk makin nikmat. Februari berkhianat. Aku pun mendongak, dan menangis sejadiku.

Senin, 06 Februari 2017

Ada Apa Dengan Percikan?

Beberapa bulan yang lalu, saya dan lingkaran pertemanan ciwi-ciwi terdekat rajin membicarakan kata chemistry dan spark. Kebetulan lima dari sahabat perempuan terdekat memang masih hidup soliter. Kami bukannya tidak dilirik para lelaki, bahkan sudah ada yang dilamar. Namun dua kata-kata pamungkas itulah yang menjadi patokan apakah para lelaki yang melirik bahkan melamar itu layak mendapatkan perempuan berkualitas seperti kami.

Sebenarnya, apa yang kami maksud dengan chemistry dan spark? Zat kimiawi? Percikan? Saya akan coba membedahnya, mewakili para perempuan kesayangan saya.

Jadi, chemistry dan spark adalah dua hal yang berbeda namun tidak terpisahkan. Sepemahaman saya, chemistry adalah level familiaritas percakapan. Bahasa gaulnya, nyambung enggak-nya. Biasanya chemistry muncul dari topik hobi yang sama, buku favorit, film favorit, tokoh politik favorit, klub sepakbola favorit, sampai berujung ke pembicaraan filosofis yang biasanya bertujuan untuk menggali lebih dalam tentang pandangan hidup pihak yang sedang diprospek. Satu hal yang penting bagi saya, sebetulnya chemistry bisa dibangun dan dipupuk. Caranya? Dengan membiasakan diri dengan hal-hal yang disenangi oleh pihak yang diprospek. Perlahan level familiaritas percakapan akan meningkat seiring waktu, yang penting ada kemauan untuk menurunkan ego dan kompromi mengenai beberapa selera yang mungkin bertolak belakang.

Sayangnya, spark alias percikan tidak bisa dikamuflase atau diupayakan. Percikan itu 'ada', bukan 'muncul'. Jadi, dia bukanlah satu hal yang berproses, yang gradually bisa dihadirkan asalkan ada usaha. It's either there abundantly, or not at all, right at the moment you look into each other's eyes. Atau pada waktu kulit tidak sengaja bersentuhan. Atau pada waktu saling mendengar suara satu sama lain. Percikan adalah momen berhentinya denyut nadi kita sepersekian detik ketika menyadari adanya kehadiran pihak yang diprospek, apapun wujudnya. Bahkan aroma keringat, atau hal seremeh nama yang muncul di notifikasi smartphone pun bisa menjadi penanda percikan yang dahsyat sampai membuat lutut lemas. Saya sendiri sangat mengandalkan percikan. Tidak peduli seberapa tampan, seberapa cerdas, seberapa menarik seorang lelaki secara keseluruhan, semua akan sia-sia tanpa adanya percikan. Namun, bukan berarti ada yang salah dengan lelaki tersebut. The heart wants what it wants, and it's just not that guy.

Kesimpulannya, spark harus ada dulu supaya chemistry bisa berkembang. Tanpa percikan, tidak akan muncul keinginan untuk meningkatkan level familiaritas percakapan. I rest my case.

Jumat, 03 Februari 2017

Jadi, London itu...


Setelah hampir enam bulan hidup di London, akhirnya saya merasakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk meracau di blog lagi.

Saya tahu ini terdengar sangat generik, namun memang banyak pengalaman baru yang saya rasakan semenjak menjejakkan kaki pertama kali di London. Merasakan hidup kemana-mana jalan kaki minimal 5 kilometer sehari, merasakan harus berdesak-desakkan dengan seisi London di dalam tube tiap ada kuliah jam 9 pagi dan pulang kuliah pada jam pulang kantor, merasakan doing groceries yang bebannya membuat bahu rasanya hampir rontok sambil harus berjalan kaki beberapa kilometer dari rumah (sedangkan waktu di Indonesia kemana-mana selalu naik motor), merasakan serangan flu yang parah sampai suara habis sehabis-habisnya di awal musim dingin dan hanya mampu mengandalkan obat komersil yang dijual di Sainsbury karena membeli obat di apotek tidak semudah di Indonesia, dan lain-lain. Yang pasti, saya akhirnya memahami bagaimana kehidupan yang sepi dan sendiri di negara orang dapat membuat pertahanan fisik dan mental kita runtuh.

Desember adalah bulan yang paling menguji ketahanan diri saya, baik mental maupun fisik, sejauh ini. Tugas-tugas akhir term semua mata kuliah berkumpul di bulan ini. Angin dingin yang setiap hari menerpa diperparah dengan kondisi hati yang akhirnya patah. Flu hebat yang melenyapkan suara juga mendera di bulan ini. Kembali mendapati hati yang kosong dan menjalani kehidupan single di saat berjuang di negara asing ternyata tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Saya tadinya berpikir bahwa menjomblo akan menjadi pilihan yang lebih mudah dengan padatnya tugas kuliah yang harus ditunaikan, karena berarti saya tidak harus memikirkan bahwa sedang ada yang menunggu di Indonesia. Namun, saya salah. Saya baru menyadari di sini bahwa saya adalah pencinta, terbiasa menikmati romansa. Setelah saya urut ke belakang, hampir tidak pernah ada momen dalam hidup saya di mana saya tidak mengagumi dan menyukai ide romansa dengan seseorang, meskipun tidak selalu berarti kami menjadi pasangan. Saya bukannya tidak paham bahwa saya tidak perlu mengasosiasikan kedamaian hati dengan kehadiran orang lain, namun, gagasan bahwa diri ini tidak sedang merasakan pengharapan kepada seseorang membuat saya mengerti bagaimana sebuah kehampaan bisa terjadi.

Pada akhirnya, berdamai dengan sepi adalah pilihan yang tidak terelakkan. Saat virus mendera tubuh lagi seperti sekarang ini, hidup memaksa saya untuk tidak hanya menelan pahitnya ibuprofen, namun juga menelan kesendirian sebab tidak lagi punya tempat berkeluh kesah andalan karena semua orang terdekat punya kehidupan sendiri-sendiri. The brutal truth is nobody is really there to help. Teman baik, orang tua, saudara kandung, mungkin saja mendengarkan ceritamu dan memberikan perhatian yang layak, yang terbaik yang mereka mampu. Namun, pada akhirnya kamu tetap harus berjuang sendiri, di daratan asing dengan sisa-sisa daya yang kamu miliki.

Sekali lagi, sendiri.