Rabu, 26 November 2014

Mengenai perkembangan misi membaca: Autumn Once More, Parasit Lajang, dan Katarsis

Dari mulai bulan Agustus lalu, saya baru berhasil menyelesaikan tiga buku bacaan; Autumn Once More, Parasit Lajang, dan Katarsis. Silakan, Anda boleh mengatakan saya tidak komit, pemalas, atau pembaca yang buruk. Memang benar adanya. Yang terakhir, Katarsis, malah baru saya selesaikan kemarin dalam waktu sehari saja.

Sensasi yang saya rasakan sewaktu membaca ketiga buku itu berbeda-beda. After effect-nya pun berbeda-beda. Sewaktu membaca Autumn Once More, saya 'berenang' diantara kisah-kisah manis dan getir tentang cinta, yang ditulis ringan ala Metropop. Kelar membacanya saya senyum-senyum, ingat pacar, ingat cinta pertama saya sewaktu SMP, ingat taksir-taksiran saya zaman SMP juga. Ternyata, sebenarnya cerita cinta yang beredar di seluruh penjuru dunia ini tidak jauh beda, tapi pemaknaan dan penceritaanya yang bervariasi yang membuat cerita cinta itu seolah banyak macamnya. Fasenya, toh, cuma ada empat: bertemu, jatuh cinta, bersama, langgeng/putus. Iya, tidak?

Kemudian saya berlanjut membaca Parasit Lajang, selang 3-4 hari setelah selesai dengan Autumn Once More. Saya orang yang mendambakan pernikahan, karena saya dibesarkan oleh kedua orang tua yang selalu nampak sangat mencintai satu sama lain, dan tidak sungkan menunjukkan PDA (Public Display Affection) di depan anak-anaknya. Oleh karena itu, saya tumbuh besar memimpikan keluarga yang bahagia seperti yang dimiliki papa mama saya; dengan rumah besar berkamar banyak, karena anaknya juga banyak (saya anak pertama dari empat bersaudara). Hal ini membuat saya merasa seperti sedang berkelahi di atas ring tinju selama membaca Parasit Lajang. Bagi yang sudah pernah membacanya, pasti Anda bisa mengerti sensasi yang saya rasakan. Saya tidak bilang paham, ya, hanya mengerti saja.
Secara keseluruhan, saya mengagumi cara berpikir Ayu Utami yang kompleks. Semua hal dia kritisi. Dari mulai seks yang seharusnya dimaknai sebagai kenikmatan badaniah tanpa perlu dihubungkan dengan resminya pernikahan, hingga terapi minum urin yang sempat ngetren beberapa tahun silam di kalangan artis. Tapi, ya itu tadi, kelar membaca, rasanya saya seperti babak belur habis bertinju.

Selang 2-3 hari setelah menyelesaikan Parasit Lajang, saya berlanjut ke Katarsis. Anda pernah bermain permainan komputer, Slender Man? Nah, rasa sepaneng membaca Katarsis sama seperti ketika Anda bermain Slender Man. Sayangnya, sampai di tengah-tengah cerita, rasa penasaran yang berhasil dibangun si penulis sejak awal cerita, mulai memudar. Kemunculan satu tokoh lain yang tiba-tiba mengubah sudut pandang cerita, membuat alur mulai bisa saya tebak. Sebagai pecinta Fahri Asiza sewaktu SMP dulu, alur yang dibangun penulis Katarsis ini tak jauh beda. Meski tetap sepaneng, saya sudah bisa menebak siapa dalang dari semua pembunuhan berantai yang menghantui si tokoh utama yang awalnya masih antagonis.

Sekarang, saya sedang bersantai, mendinginkan otak dengan membaca kisah seringan When Patty Went to College. Saya mau mengakui satu hal: buku ini saya beli di tahun 2010, waktu masih tahun pertama kuliah dan belum pernah saya baca sampai selesai, sampai sekarang saya sudah lulus. Silakan, penthung saya pakai batang sapu ijuk!