Senin, 21 Maret 2016

Saya Banyak Bertanya, Salahkah?

Beberapa bulan yang lalu, saya bertanya kepada dua orang teman: Mengapa kalau orang mengunggah foto sedang sholat ke media sosial, kebanyakan di-bully, dibilang pamer, dibilang riya', dibilang tidak sah ibadahnya; sedangkan kalau orang mengunggah foto sedang ritual haji atau umroh, kebanyakan mendapat komentar, "Alhamdulillah, semoga nular ke aku, ya", "Barakallah ya, ukhti/akhi", "Subhanallah, semoga mabrur"? Apakah masalahnya terletak di 'ukuran' ibadahnya? Karena kalau sholat itu ibadah sehari-hari dan affordable untuk seluruh umat Islam, sedangkan kalau umroh atau haji itu ibadah 'besar' membutuhkan biaya yang sedikit dan tidak semua bisa melakukannya lebih dari satu kali? Mengapa jika yang 'sehari-hari' yang diunggah lantas jadi masalah riya' sedangkan jika yang 'besar' bisa diunggah tanpa dihujat? Intinya mengunggah, kan, untuk menunjukkan ke orang lain di media sosial bahwa seseorang tersebut SUDAH beribadah. Iya, kan? Saya tidak mengerti, bahkan sampai saat menulis postingan ini pun saya belum menemukan jawabnya.

Dalam obrolan tersebut satu teman saya menjadi ikut menebak-nebak apa gerangan penyebabnya. Sedangkan teman saya yang satunya berbeda. Dia justru melontarkan komentar telak, "Kamu selalu begini. Sering merepotkan hal-hal yang bukan urusanmu, yang tidak penting untuk kamu pikirkan. Kalau orang mengunggah foto sholat atau foto umroh atau haji, apa ruginya buat kamu? Tidak ada kan? Lalu mengapa kamu memusingkannya? Tidak suka ya tidak usah dilihat." Tak pelak, saya tertohok. Lalu saya melanjutkan, "Ini bukan urusan suka atau tidak suka. Aku hanya ingin mengerti, mengapa ibadah yang satunya dihujat ketika ditunjukkan, sedangkan yang lain tidak."
"Tidak semua hal di dunia ini harus kamu mengerti atau pahami, Maz." tutup teman saya tadi. Obviously, that got me thinking. Apa iya? Apakah usaha untuk mencoba mengerti sekalipun hal itu 'tidak penting' untuk saya juga tidak perlu dilakukan, tidak worth a try?

Obrolan tersebut membuat saya kepikiran sampai berminggu-minggu. Apa iya saya ini sering merepotkan hal-hal yang tidak penting untuk saya? Apa iya pertanyaan-pertanyaan yang ada di pikiran saya sebenarnya banyak yang tidak perlu saya pusingkan? Memang, pertanyaan soal ibadah di atas bukan secara langsung urusan saya, karena bukan foto saya yang jadi bahan pembicaraan. Benar apa yang dibilang teman saya, foto ibadah orang lain tidak merugikan saya.

Sayangnya, saya adalah tipe orang yang tidak bisa tidak bertanya-tanya ketika melihat sesuatu yang ganjil atau tidak biasa. Simpelnya 'mudah terganggu'. Ketika menonton acara televisi yang menurut saya tidak ada 'isinya' sama sekali tapi begitu banyak penggemarnya, saya mengernyit, "Kok bisa? Mengapa?" Ketika melihat banyak orang mengunggah foto luka yang berlumuran darah atau lengan yang diinfus, saya juga langsung berpikir, "Mengapa ada orang yang ingin menunjukkan kalau dia sedang susah? Dengan gambar infus atau luka yang berdarah-darah? Apa yang mendorong mereka melakukannya?" Sederhana sebenarnya, saya sedang mencoba paham. Orang bijak mengatakan bahwa janganlah membenci apa yang tidak kita pahami. Maka jadilah, saya mencoba memahami dengan memikirkannya.

Kemudian saya bertanya kepada my significant other, Ian, tentang apakah diri ini memang terlalu banyak bertanya-tanya, memikirkan sesuatu yang tidak penting; tentang apakah memang jika sesuatu tidak merugikan saya, lantas tidak perlu dipertanyakan? Dia menjawab panjang lebar, menjelaskan bahwa intinya saya memang terlalu banyak bertanya dan harus memilih-milih kepada siapa saya mengungkapkan pertanyaan itu. Apa yang saya pikirkan belum tentu dipikirkan orang lain, dan mengutarakannya kepada orang lain juga bisa membuat mereka tak nyaman. Menurut Ian, yang terjadi dalam obrolan saya dengan dua teman di atas adalah karena saya memilih orang yang salah untuk diajak berdiskusi. Ian paham bahwa arah pertanyaan saya bisa diteruskan menjadi diskusi budaya, seperti halnya saya mempertanyakan tren maternity shots yang marak di Instagram (yang kalau dipikir-pikir sebenarnya juga tidak merugikan saya), dan menyarankan jika lain kali ingin berdiskusi tentang suatu fenomena budaya dan bukannya 'dibunuh dengan telak' tanpa jawaban, saya harus menanyakan hal tersebut pada orang yang memiliki interest yang sama dengan saya. Jelas bahwa teman saya tadi tidak memiliki interest yang sama, karena terbukti diskusi tidak berjalan.

Jadi, kesimpulannya: tidak ada salahnya banyak bertanya, banyak berpikir, banyak 'terganggu'. Yang tidak merugikan kita belum tentu tidak salah. Yang bukan urusan kita belum tentu tidak layak dipertanyakan. Asalkan pertanyaannya bisa diarahkan menjadi sesuatu yang bermanfaat. Asalkan kita memilih orang yang tepat untuk bertanya.

Anyway, ada yang bisa menjawab pertanyaan tentang perbedaan foto sholat dengan foto haji/umroh di media sosial?

Until next time!

2 komentar:

  1. wah nice post Mbak Maz.. keep on asking, keep on writing :)

    BalasHapus
  2. Thank you, mbak may. Waaah blog ku dikomen Dina Lorenza! XD

    BalasHapus