Rabu, 10 Agustus 2016

Jakarta: Elu-Gue Selfie dan Seni Memaksa Diri

Hehe. Siapkan mata untuk a super long post, ya!
Kepada siapapun yang membaca blog ini, saya minta maaf karena tidak rajin menulis. Sebetulnya, overthinking terjadi setiap hari, jadi tidak ada yang namanya situasi 'tidak punya bahan tulisan'. Sayangnya, sudah hampir tiga bulan ini laptop tua milik saya (ACER angkatan 2007) rusak. Benar-benar rusak dan tidak bisa diselamatkan lagi. Jadilah saya 'menumpang' laptop punya adik. Laptop ini pun sesungguhnya sudah waktunya 'cuci otak' karena virus-virus sudah membuat performanya jadi sangat lambat.

Anyway...

Bulan Juni dan Juli kemarin, saya mengunjungi Jakarta lagi. Di bulan Juni, keperluannya adalah untuk mendatangi lapak pemulung di Pasar Minggu, guna menunaikan kewajiban menjadi sukarelawan program Menyapa Indonesia LPDP PK-46. Saya berada di Jakarta dari tanggal 2 sampai tanggal 4. Yang menjadi highlight acara kali ini adalah adik-adik yang kami temui di lapak pemulung tersebut. Sebagian besar dari mereka masih bersekolah SD, sebagian lagi masih belum sekolah. Di hari Sabtu, mereka kami beri materi wawasan kebangsaan, seperti peta Indonesia, makanan dan bahasa daerah, dan beberapa peristiwa bersejarah di daerah. Kemudian di hari Minggu, kami mengajarkan cara membuat kerajinan tangan dari kain flanel dan dakron.

Interaksi selama dua hari itu membuat saya jadi sedikit tahu tentang bagaimana kondisi anak-anak di daerah pinggiran kota Jakarta. Cara bicara mereka berbeda dari anak-anak di daerah tempat saya tinggal, Ponorogo. Mereka lebih lugas alias ceplas-ceplos. Ada beberapa adik yang dengan berani meminta sisa makanan ringan yang kami bagikan untuk dibawa pulang, padahal sebelumnya mereka sudah dapat jatah. Hahaha. Lalu, selama ini saya kira bahasa "elu-gue" itu monopoli orang dewasa ibu kota. Ternyata anak usia TK pun sudah menggunakan bahasa itu untuk berinteraksi dengan teman-temannya. Yang membuat saya sedikit heran, ada seorang adik yang nginthil terus pada saya, dan akhirnya meminta selfie. Hmm. Anak zaman sekarang memang tidak mungkin tidak kenal selfie, ya?

Untungnya kepolosan mereka masih khas anak-anak seusianya. Taruhan, daya tangkap pengetahuan mereka tidak kalah dengan anak-anak yang tinggal di tengah kota. Ada satu adik yang bertanya pada kami:
"Kakak, tahu gedung-gedung yang tinggi di kota? Kakak pernah masuk?"
"Gedung apa?"
"Yang banyak kacanya itu lho!"
"Oooh. Kenapa memangnya?"
"Di dalamnya kayak apa, sih, Kak?"
Saya dan teman saya pun saling berpandangan.

Moving on...

Kunjungan di bulan Juli kemarin bertujuan untuk menghadiri Pre-Departure Briefing yang diadakan oleh British Council di Soehana Hall, di daerah SCBD, tanggal 23 siang. Acara tersebut sangat informatif dan englightening. Karena satu dan lain hal (meminjam istilah teman traveling saya, Mbak Nana :D), saya dan Mbak Nana terpaksa batal pulang tanggal 24 padahal tiket kereta sudah tinggal dicetak saja. Di tanggal 25 kami punya agenda pergi ke kantor LPDP untuk menanyakan Letter of Guarantee (LoG) saya yang entah mengapa rejected sampai 2 kali.

Karena kami masih ada tanggungan keliling Jakarta, pastinya harus menghemat uang transportasi. Dari yang biasanya memilih naik GrabCar, Gojek, atau GoCar untuk menghemat waktu dan menghindari nyasar, kami beralih ke Busway dan KRL. Ini pelajaran berharga untuk saya yang sama sekali tidak pernah naik angkutan umum tiap datang ke Jakarta. Syukur Alhamdulillah, Mbak Nana bisa diandalkan untuk menjadi 'GPS berjalan' (semoga barokah tuntunannya kemaren, Mbak! :D) Pengalaman traveling saya masih sangat minim, kalau tidak mau dibilang tidak ada sama sekali. Hehehe. Mbak Nana sendiri sudah sering backpacker-an, traveling kesana-kemari, jadi sudah terbiasa dengan kendaraan umum.

Yang namanya naik kendaraan umum, sudah tentu kami harus berjalan kaki untuk mencapai stasiun KRL dan halte Busway. Lha iki. Judge me all you want, sejak SMP saya sudah terbiasa kemana-mana naik motor, entah dibonceng atau menyetir sendiri. Bahkan saat SMA, dengan jarak rumah ke sekolah yang tidak sampai 1 kilometer, saya naik motor tiap berangkat dan pulangnya. Saat kuliah, jarak dari rumah ke kampus memang lumayan, sekitar 10 kilometer. Sehingga naik motor bisa dibenarkan, setidaknya. Kesimpulannya, SAYA HAMPIR TIDAK PERNAH JALAN KAKI JARAK JAUH.

Pengalaman jalan kaki kesana-kemari bersama Mbak Nana di Jakarta itu membuat saya berpikir bahwa motor, GrabCar, Gojek, dan GoCar adalah zona nyaman saya. Berjalan kaki kemana-mana jelas bukan zona nyaman saya. Apalagi saat itu saya harus menenteng tas ransel yang lumayan berat dengan isi laptop dan kebutuhan selama 4 hari, ditambah tas selempang yang isinya juga lumayan bikin ngos-ngosan. Mbak Nana mah tegar, berjalan dengan cepatnya di depan saya, sementara saya beberapa kali berhenti karena sendi bahu rasanya mau lepas dan telapak kaki sudah lecet di bagian bawah jempol. Saya paksakan terus berjalan karena kalau tidak, siapa yang mau menggendong saya dari Pasar Baru ke Stasiun Pasar Senen?!

Bagian happy-nya tentu ada. Saya jadi sadar bahwa saya memang butuh berjalan jauh. Bulan depan InsyaAllah saya sudah di London, dan sebagai Londoner nantinya saya pasti harus jalan kaki kesana-kemari. Jadi pengalaman kaki lecet di Jakarta itu adalah percobaan. Allah SWT memberi sedikit gambaran apa yang harus saya siapkan untuk hidup di negeri orang satu tahun ke depan: kaki dan bahu yang kuat! :D

KELUAR DARI ZONA NYAMAN ITU PENTING, GUYS! This is irrefutable.

P.S. Special thank-you-note untuk Mbak Ginar yang sudah mengizinkan apartemennya dijadikan 'barak penampungan'. :*
    

2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiiin...
      Aku ambil Gender Studies. Sangat tidak umum dan selalu bikin orang nanya, "Ngapain tuh kerjaannya?"
      Apply aja dulu. Mindernya dirasain nanti aja kalo udah keterima. Hahahaha. *ini saran yang salah

      Hapus