Jumat, 03 Februari 2017

Jadi, London itu...


Setelah hampir enam bulan hidup di London, akhirnya saya merasakan kebutuhan yang sangat mendesak untuk meracau di blog lagi.

Saya tahu ini terdengar sangat generik, namun memang banyak pengalaman baru yang saya rasakan semenjak menjejakkan kaki pertama kali di London. Merasakan hidup kemana-mana jalan kaki minimal 5 kilometer sehari, merasakan harus berdesak-desakkan dengan seisi London di dalam tube tiap ada kuliah jam 9 pagi dan pulang kuliah pada jam pulang kantor, merasakan doing groceries yang bebannya membuat bahu rasanya hampir rontok sambil harus berjalan kaki beberapa kilometer dari rumah (sedangkan waktu di Indonesia kemana-mana selalu naik motor), merasakan serangan flu yang parah sampai suara habis sehabis-habisnya di awal musim dingin dan hanya mampu mengandalkan obat komersil yang dijual di Sainsbury karena membeli obat di apotek tidak semudah di Indonesia, dan lain-lain. Yang pasti, saya akhirnya memahami bagaimana kehidupan yang sepi dan sendiri di negara orang dapat membuat pertahanan fisik dan mental kita runtuh.

Desember adalah bulan yang paling menguji ketahanan diri saya, baik mental maupun fisik, sejauh ini. Tugas-tugas akhir term semua mata kuliah berkumpul di bulan ini. Angin dingin yang setiap hari menerpa diperparah dengan kondisi hati yang akhirnya patah. Flu hebat yang melenyapkan suara juga mendera di bulan ini. Kembali mendapati hati yang kosong dan menjalani kehidupan single di saat berjuang di negara asing ternyata tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya. Saya tadinya berpikir bahwa menjomblo akan menjadi pilihan yang lebih mudah dengan padatnya tugas kuliah yang harus ditunaikan, karena berarti saya tidak harus memikirkan bahwa sedang ada yang menunggu di Indonesia. Namun, saya salah. Saya baru menyadari di sini bahwa saya adalah pencinta, terbiasa menikmati romansa. Setelah saya urut ke belakang, hampir tidak pernah ada momen dalam hidup saya di mana saya tidak mengagumi dan menyukai ide romansa dengan seseorang, meskipun tidak selalu berarti kami menjadi pasangan. Saya bukannya tidak paham bahwa saya tidak perlu mengasosiasikan kedamaian hati dengan kehadiran orang lain, namun, gagasan bahwa diri ini tidak sedang merasakan pengharapan kepada seseorang membuat saya mengerti bagaimana sebuah kehampaan bisa terjadi.

Pada akhirnya, berdamai dengan sepi adalah pilihan yang tidak terelakkan. Saat virus mendera tubuh lagi seperti sekarang ini, hidup memaksa saya untuk tidak hanya menelan pahitnya ibuprofen, namun juga menelan kesendirian sebab tidak lagi punya tempat berkeluh kesah andalan karena semua orang terdekat punya kehidupan sendiri-sendiri. The brutal truth is nobody is really there to help. Teman baik, orang tua, saudara kandung, mungkin saja mendengarkan ceritamu dan memberikan perhatian yang layak, yang terbaik yang mereka mampu. Namun, pada akhirnya kamu tetap harus berjuang sendiri, di daratan asing dengan sisa-sisa daya yang kamu miliki.

Sekali lagi, sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar