Sabtu, 18 Februari 2017

Kau Adalah Bagaimana Tuhan Mencintaiku

Lagunya baru saja usai. Namun air mataku sudah kering, dan mataku sudah kebas. Dada masih nyeri, meski sekuat apapun aku mempertemukan kedua pasang kelopak mataku, tidak ada lagi air yang keluar. Tenggorokan juga masih terasa dihunus sembilu, meski sedalam apapun aku merogoh, tidak ada lagi yang bisa kutemukan.

Untuk pertama kalinya setelah sekian ribu jam, aku, kosong.

Lantas ku memutar lagu yang sama untuk kesekian ratus kalinya. Entah untuk alasan apa, aku ingin bisa menangis. Kau tahu betapa menyebalkan merasakan sakit namun sudah kehabisan daya untuk menangis? Setidaknya menangis mengalihkan nyeri dan perih yang menjalar; mekanisme pertahanan manusiawi yang paling dasar. Setidaknya dengan menangis, berarti kau tidak kosong. Kau masih merasa.

Lalu-lalang manusia berpakaian kelabu masih asyik, menawarkan elegi yang kutahu sengaja meledekku. Beberapa memakai topi, beberapa bermantel tebal, dan beberapa bersarung tangan kulit sapi. Duniaku dan dunia mereka hanya terhalang dua lapis kaca lebar ini. Seorang wanita menjatuhkan sarung tangannya tepat di depanku, warnanya kelabu. Kau harus tahu bagaimana aku mendeskripsikan kelabu. Kelabu bukan hitam. Kelabu bukan abu-abu. Kelabu bukan sekadar gelap, karena gelap berarti ketiadaan terang. Kelabu adalah kegagalanku menemukan rupa. Sarung tangan wanita tadi, kelabu yang tiba-tiba menonjok tenggorokanku. Sakit. Namun tetap gagal membuatku menangis.

Kemudian kulihat sekelebat punggung yang nampak familiar. Punggung itu membelakangiku di seberang jalan. Tulang bahunya terangkat ketika dia memasukkan tangan ke dalam saku celananya. Rahangnya sekilas menyapa ketika berpaling. Dia masih berdiri di sana. Aku berusaha membuat sketsa wajah di dalam kepalaku dari punggung yang familiar itu. Lalu muncul sensasi yang sangat kukenal; seperti isi dadamu turun ke perut lantas mulas. Ketika punggung itu berbalik dan sketsa di kepalaku bercermin di wajahnya, rasa mulas itu menjadi-jadi. Kubuang muka, mencoba membuat sketsa wajah di kepalaku berhenti bercermin di wajah sekelebat punggung tadi.

Bel pintu di samping kaca berdenting. Angin dari luar menyapa tengkuk, hangat, seolah lupa bahwa seharusnya dia bekerja sama dengan baik dengan musim bulan Februari. Rasa mulas masih menguasai sekujur. Perlahan tapi pasti, telapak kakiku berkeringat dingin, terjebak di dalam sepatu sebetulnya longgar-longgar saja. Rasa mulas kemudian ditemani dengan deru jantung yang tak beraturan. Nyaris kukira ada sesuatu yang salah dengan beberapa teguk kopi labu dari cangkir kertas ini. Pipiku menghangat, dipaksa tengkuk. Terus aku terpekur, berusaha menolak sensasi yang menjalari sekujur; berharap dengan diam tak bergeming akan mengembalikan deru jantung menjadi teratur.

Sejurus, sepasang kaki berdiri di samping mejaku. Hangat di tengkuk makin nikmat. Februari berkhianat. Aku pun mendongak, dan menangis sejadiku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar